Ajaran karma menganggap bahwa segala hal yang dikerjakan
manusia akan membawa dampak bagi dirinya cepat atau lambat, dan akan
mempunyai dampak atas apa yang disebut sebagai kehidupan selanjutnya.
Menurut keyakinan ini, manusia akan terus terlahir kembali ke dunia ini,
di mana mereka harus menanggung akibatnya dalam kehidupan berikutnya
atas apa yang telah mereka lakukan di masa lalu. Ajaran Buddha
mengingkari adanya Tuhan dan yakin bahwa karma adalah kekuatan
tersendiri yang mengatur segala sesuatu.
Salah satu akibat berbahaya dari keyakinan pada karma
adalah bahwa ajaran ini mengajarkan bahwa ketidakberdayaan, kemiskinan,
dan kelemahan saat ini merupakan hukuman untuk kejahatan akhlak
seseorang. Menurut sistem kepercayaan ini, jika seseorang cacat, itu
adalah karena ia telah menimbulkan luka yang serupa pada seorang yang
lain dalam kehidupan sebelumnya sehingga ia pantas mendapatkannya.
Keyakinan takhayul ini adalah alasan utama mengapa tatanan masyarakat
yang tak adil berupa sistem kasta menguasai India selama berabad-abad.
(Harus diingat bahwa karma adalah gagasan Hindu, dan ajaran Buddha
sebenarnya muncul dari ajaran Hindu.) Karena sistem kasta itu
didasarkan pada karma, orang yang miskin, sakit, dan cacat di India
dibenci dan ditindas. Kelas penguasa berkasta tinggi yang kaya
menganggap keistimewaan mereka sebagai hal alami dan adil.
Dalam Islam, bagaimana pun menjadi orang yang
lemah bukanlah suatu pembalasan; ini diperoleh sebagai ujian dari Allah.
Lebih jauh, orang lain mempunyai kewajiban amat penting membantu
orang-orang yang membutuhkan. Oleh karena itu, Islam, seperti halnya
Yahudi dan Kristen, agama-agama lain yang didasarkan pada wahyu Tuhan
namun kemudian diubah-ubah, memiliki perasaan yang kuat atas keadilan
sosial. Akan tetapi, agama berdasar karma seperti Buddha dan Hindu
mengizinkan adanya pembedaan dan membuat hambatan besar untuk
perkembangan masyarakat.
Menurut teori karma, orang-orang miskin, cacat, atau sakit sebenarnya
membayar harga perbuatan jahat yang dilakukannya di kehidupan
sebelumnya. Oleh karena itu, mereka pantas mendapatkan kesialannya
sekarang. Pemahaman sesat ini menyebabkan ketidakadilan di mana-mana
dalam masyarakat ketika kepercayaan karma tersebar luas.
Karma didasarkan pada keyakinan adanya kelahiran
kembali: gagasan bahwa manusia kembali ke dunia dengan jiwa yang sama
namun dalam tubuh yang berbeda. Gagasan tentang “roda kelahiran kembali”
ini menganggap bahwa setiap kehidupan mempengaruhi kehidupan
selanjutnya. Namun keyakinan ini tidak mampu menjawab satu pertanyaan:
bagaimana karma itu terjadi? Jika ajaran Buddha tidak menerima adanya
Tuhan, maka siapakah yang menilai kehidupan seseorang sebelumnya dan
mengirimnya kembali ke dunia dalam tubuh yang baru? Pertanyaan ini tidak
punya jawaban! Penganut Buddha percaya bahwa karma adalah “hukum alam”
yang terjadi sendiri, serta merta, seperti gravitasi atau
termodinamika. Padahal, adalah Allah-lah yang menciptakan seluruh hukum
alam. Tidak ada hukum alam yang melihat apa yang diperbuat manusia di
sepanjang kehidupan mereka, mencatatnya, dan menilai mereka setelah
kematian atas dasar itu. Tidak ada hukum alam yang menentukan, sebagai
hasil dari penilaian itu, jenis kehidupan baru apa yang akan dipunyai
seseorang dan menciptakannya kembali sesuai itu; dan tidak ada hukum
alam yang menjalankan proses ini dengan sempurna atas miliaran manusia,
atau binatang. Jelas tidak ada hukum alam seperti itu sama sekali,
sehingga proses seperti itu pun tidak mungkin ada.
Begitu banyak manusia di seluruh dunia percaya
pada kelahiran kembali, meskipun tidak ada dasar yang masuk akal,
karena mereka tidak punya keyakinan keagamaan. Karena mengingkari adanya
kehidupan abadi setelah kehidupan, mereka takut pada kematian dan
berpegang pada gagasan kelahiran kembali sebagai cara melarikan diri
dari ketakutan mereka. Keyakinan pada kelahiran kembali, seperti halnya
keyakinan pada karma, didasarkan pada kebahagiaan palsu bahwa kematian
adalah sesuatu yang tak perlu ditakuti, dan bahwa setiap orang akan
mampu mencapai tujuannya dalam kelahiran yang baru.
Jika reinkarnasi tidak terjadi sendiri, seperti
hukum alam, maka jelaslah itu bisa terjadi hanya melalui tindakan
penciptaan yang luar biasa. Namun tinjauan Al-Qur'an memberi tahu kita
bahwa reinkarnasi tersebut adalah mitos. Kitab yang diturunkan Allah
sebagai petunjuk bagi umat manusia secara terbuka menyatakan bahwa
reinkarnasi itu keliru belaka.