Harta rampasan dalam Islam disebut dengan ghanimah. Ghanimah secara semantik berarti apa yang diperoleh manusia melalui usaha.
Dalam terminologi fikih berarti rampasan perang, yakni harta yang diperoleh dari musuh Islam melalui peperangan dan pertempuran yang pembagiannya diatur oleh agama.
Ghanimah meliputi harta yang dapat dibawa dari perang, tawanan, dan tanah. Istilah-istilah yang berkaitan dengan ghanimah adalah nafal (jamaknya anfal) yang berarti tambahan, salab yang berarti rampasan.
Sayid Sabiq (ahli fikih asal Mesir) mengidentikkan ghanimah dengan nafal. Akan tetapi, menurut Wahbah Az- Zuhaili, guru besar ilmu fikih Universitas Damaskus, Suriah, keduanya berbeda.
Menurutnya, nafal adalah harta rampasan perang yang diberikan oleh imam secara khusus untuk tentara tertentu sebagai dorongan kepadanya agar aktif bertempur. Dinamakan demikian karena ia merupakan tambahan hak seseorang atas rampasan perang, lebih dari hak (saham) yang dimilikinya dalam pembagian harta ghanimah.
Salafa adalah perlengkapan perang (termasuk kuda atau unta yang ditunggangi) yang berhasil dirampas tentara Islam dari prajurit musuh yang dibunuhnya. Adapun fai adalah harta (rampasan perang) yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran.
Harta fai dapat muncul melalui banyak cara, seperti melalui perdamaian, jizyah, dan kharaj (pajak tanah). Harta fai' dapat juga timbul karena seorang musuh memasuki wilayah Islam membawa harta, kemudian hartanya diambil oleh umat Islam, atau terjadi karena tentara musuh lari meninggalkan harta bendanya sebelum terjadinya peperangan.
Di zaman jahiliah, masa sebelum Islam, kabilah- kabilah Arab jika menang dalam berperang akan mengambil ghanimah (harta yang dapat dibawa, tawanan, dan tanah) dan membagi-bagikannya kepada orang yang ikut serta berperang. Ketua mereka mendapat bagian yang besar.
Setelah Islam, adat kebiasaan yang sudah berjalan jauh sebelum Islam ini dikukuhkan. Ajaran Islam menyatakannya sebagai harta yang halal, dengan perbaikan-perbaikan tertentu berkenaan dengan cara pembagiannya.
Dalam Islam persoalan ini muncul pertama kali pada Perang Badar, yaitu pada 17 Ramadan 2 H.
Peperangan antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin Quraisy ini berakhir dengan kemenangan umat Islam. Karena kalah, kaum musyrikin meninggalkan harta yang banyak di medan perang.
Harta itu kemudian dikumpulkan dan diambil oleh umat Islam. Akan tetapi, segera setelah itu, umat Islam berbeda pendapat tentang cara pembagiannya.
Mereka kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itulah turun ayat Alquran yang menjelaskan tata cara pembagian rampasan perang.
Dasar hukum ghanimah, nafal, salab, dan faiBerkenaan dengan ghanimah atau nafal, Allah SWT berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS.Al-Anfal: 41).
Kemudian, “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: ‘Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman’.” (QS. Al-Anfal: 1).
Adapun landasan yang terdapat di dalam hadis di antaranya adalah hadis Nabi SAW, “Aku diberikan lima hal yang tidak pernah diberikan kepada nabi mana pun sebelumku. Aku ditolong di saat menghadapi kegoncangan sepanjang perjalanan sebulan, dijadikan bagiku tanah sebagai tempat bersujud serta bersuci, di mana pun umatku menemui waktu salat ia boleh shalat, dihalalkan untukku ganimah yang tidak dihalalkan kepada seorang nabi pun sebelumku, diberikan kepadaku syafaat, dan aku diutus untuk seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di dalam hadis lain Nabi SAW bersabda, "Tidak pernah dihalalkan ghanimah kepada seorang nabi pun sebelum kita. Halalnya ghanimah bagi kita karena Allah mengetahui kelemahan dan ketakberdayaan kita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan dasar hukum fai adalah firman Allah SWT, “Dan apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
“Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Juga) bagi fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan-(Nya)." (QS. Al-Hasyr: 6-8).
Hukum Ghanimah
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta ghanimah itu harus dibagi di wilayah Islam. Alasannya adalah karena pemilikan harta ghanimah tidak sempuma kecuali setelah dikuasai, dan penguasaan itu tidak sempuma kecuali setelah dibawa ke wilayah Islam.
Akan tetapi, mereka berpendapat jika imam membagi harta ghanimah itu di medan perang atau di wilayah musuh karena tuntutan keadaan tertentu, maka hukumnya adalah boleh.
Akan tetapi, jumhur ulama (Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali), ulama Mazhab Az-Zahiri, ulama Syiah Zaidiah dan Imamiah berpendapat bahwa imam boleh membagi harta ghanimah di wilayah musuh, dengan alasan Nabi SAW melakukan hal yang demikian pada Perang Hunain (HR. Bukhari dan Tabrani) dan perang dengan Bani Mustaliq (HR. Baihaqi).
Perbedaan antara ulama Mazhab Hanafi di satu pihak dan jumhur ulama di pihak lain terjadi karena perbedaan tentang waktu terwujudnya hak atas harta ghanimah itu.
Jumhur ulama, ulama Syiah Zaidiah dan Imamiah, dan ulama Mazhab Az-Zahiri berpendapat bahwa peralihan pemilikan harta rampasan dari tangan musuh ke tangan tentara Islam sudah terjadi ketika harta itu berhasil diambil dan dikuasai tentara Islam.
Sementara itu, menurut ulama Mazhab Hanafi, hal itu terwujud melalui tiga peringkat:
1. Ketika harta itu berhasil dirampas dan dikuasai tentara Islam di medan perang, maka terwujud prinsip hak secara umum.
2. Setelah harta ghanimah sampai di wilayah Islam dan belum dibagi-bagikan kepada yang berhak, hak umum itu diperkukuh; dan
3. Setelah dibagi-bagi, maka harta ghanimah menjadi hak milik pribadi.
Perbedaan pendapat tentang peralihan hak harta ghanimah itu menyebabkan munculnya perbedaan hukum tentang harta ghanimah yang masih berada di medan perang dan belum dibagi-bagikan. Perbedaan-perbedaan itu sebagai berikut:
1. Apabila seorang tentara Islam terbunuh di medan perang setelah harta ghanimah didapat, menurut jumhur ulama, haknya diwariskan kepada ahli warisnya, sementara menurut ulama Mazhab Hanafi. haknya tidak diwarisi oleh ahli warisnya.
2. Menurut jumhur ulama, imam boleh menjual harta ghanimah itu, sementara menurut ulama Mazhab Hanafi, imam tidak boleh menjualnya kecuali untuk kepentingan tentara.
3. Tentara yang merusak suatu barang ghanimah itu, menurut jumhur ulama, berkewajiban menggantinya, sementara menurut ulama Mazhab Hanafi, tidak wajib menggantinya. Bagi ulama Mazhab Hanafi, pendapat jumhur ulama tentang tiga masalah di atas baru berlaku setelah harta ghanimah itu membawa dan sampai di wilayah Islam.
Namun, semua ulama fikih sepakat bahwa berkhianat tentang harta ghanimah (gulul) ini hukumnya adalah haram karena dapat memecah-belah hati kaum Muslimin dan dapat menyebabkan kekalahan kaum Muslimin dalam peperangan.
Allah SWT berfirman, "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran: 161).
Disamping itu, Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang seseorang bernama Karkarah, “Dia di dalam neraka." Para sahabat kemudian pergi melihat orang itu dan mendapatkan di sisinya barang (harta rampasan perang) yang dicurinya.” (HR. Bukhari).
Di samping itu, ulama juga sepakat bahwa harta rampasan yang sudah dikuasai dan belum dibawa ke wilayah Islam, yaitu yang berupa barang konsumsi (makanan dan minuman), boleh dimanfaatkan, termasuk kayu bakar.
Alasan yang dianut jumhur ulama adalah firman Allah SWT, "Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS.Al-Anfal: 69).
Sejalan dengan itu Ibnu Umar berkata, "Dalam salah satu peperangan kami memperoleh madu dan anggur, kemudian kami makan dan tidak kami bagi-bagi.” (HR Bukhari).
Berkenaan dengan itu, Imam Malik berpendapat bahwa unta, sapi, dan kambing termasuk dalam kategori makanan yang bisa dimakan kaum Muslimin jika mereka berada di daerah musuh. Akan tetapi, menurut ulama Mazhab Hanafi, kebolehan itu disebabkan pemanfaatan seperti itu merupakan kebutuhan umum para tentara, baik kaya maupun miskin.
Menurut mereka, kebutuhan itu mendatangkan keadaan darurat. Karena alasan darurat, maka pemanfaatan itu hanya diperkenankan sejauh kebutuhan saat itu sudah terpenuhi, dan hanya berhubungan dengan konsumsi.
Di luar barang-barang konsumtif itu, ulama juga sepakat bahwa harta itu tidak boleh dimanfaatkan oleh tentara. Mereka juga sepakat, apabila terdapat harta ghanimah, seperti senjata atau hewan, yang tidak mungkin dibawa ke wilayah Islam karena adanya kesulitan tertentu, maka tentara Islam diperintahkan untuk menyembelih dan merusak senjata itu. Hal itu dimaksudkan agar barang-barang itu tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh musuh.
Pembagian GhanimahTata cara pembagian ghanimah sudah diatur di dalam Alquran pada surah Al-Anfal (8) ayat 41 seperti tersebut di atas. Harta ghanimah itu pertama-tama dibagi menjadi lima bagian. Seperlima menjadi hak Allah SWT sebagaimana tersebut di dalam ayat di atas.
Adapun sisanya yang betjumlah empat perlima dibagi-bagikan kepada tentara, sesuai dengan hadis Nabi SAW, "Seperlima untuk Allah dan empat perlima lainnya untuk tentara." (HR. Bukhari). Hal ini dianut oleh jumhur ulama.
Adapun hak kerabat Nabi SAW, menurut ulama Mazhab Hanafi, hanya dibagikan kepada kerabat yang miskin saja.
Sedangkan menurut jumhur ulama, semua kerabat Nabi SAW dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib mendapat bagian, baik kaya maupun miskin.
Alasan mereka karena Nabi SAW menyatakan bahwa mereka, kaya dan miskin, yang dekat dan yang jauh, laki-laki dan perempuan, semuanya mendapat bagian. Hanya saja lelaki mendapat dua kali bagian wanita (HR. Bukhari dan Ahmad bin Hanbal).
Menurut Zainal Abidin dan Imam Muhammad Al-Baqir (keduanya ulama Syiah), bagian kerabat Nabi SAW itu merupakan ganti dari zakat yang diharamkan bagi mereka untuk menerimanya.
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian seperlima di atas setelah Nabi SAW wafat. Imam Syafi‘i, Imam Ahmad bin Hanbal, ulama Mazhab az-Zahiri, dan para ahli hadis berpendapat bahwa yang seperlima itu tetap dibagi lima, satu bagian yang semula untuk Allah SWT dan Rasul-Nya dijadikan untuk kemaslahatan umum dan empat bagian lagi tetap seperti semula.
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa bagian Allah SWT dan Rasul-Nya dan bagian kerabat Nabi SAW menjadi hilang, karena bagiannya itu didasarkan pada kerasulan dan bukan pada kepemimpinannya.
Oleh karena itu, yang seperlima dari harta ghanimah tersebut hanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu untuk anak yatim, fakir miskin dan ibnu sabil. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa pembagiannya diserahkan kepada imam untuk dibelanjakan di jalan Allah SWT.
Tentang saham para tentara yang empat perlima dari harta ghanimah, menurut jumhur ulama, dibagikan kepada tentara Islam yang sudah memenuhi syarat berikut; ikut berperang, laki-laki, Muslim, dan merdeka.
Yang dimaksudkan dengan tentara yang ikut berperang adalah orang yang menyaksikan peperangan dan berniat untuk berjihad, meskipun ia tidak sampai bertempur bersama tentara Islam yang lain.
Pendapat ini didasarkan pada pendapat Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khathab (sahabat, dua khalifah pertama) yang mengatakan, "Ghanimah itu dibagikan kepada orang yang menyaksikan peperangan." (Riwayat at-Tabrani dan Baihaqi).
Oleh karena itu, menurut jumhur ulama, tentara bantuan yang datang ke medan perang setelah peperangan usai tidak mendapat bagian dari ghanimah ini. Akan tetapi, menurut ulama Mazhab Hanafi—sejalan dengan pendapat mereka tentang peringkat terjadinya pemilikan harta ghanimah di atas—tentara bantuan yang hadir sebelum harta ghanimah dibawa dan sampai di wilayah Islam, meskipun tidak sempat ikut serta dalam peperangan, mendapat bagian.
Para tentara itu dibagi dalam dua kategori, yaitu tentara berkuda dan tentara pejalan kaki.
Menurut ulama Mazhab Hanafi dan ulama Syiah Imamiah, perbandingan bagian tentara berkuda dan bagian tentara pejalan kaki adalah 2:1.
Akan tetapi, menurut jumhur ulama dan ulama Syiah Zaidiah, perbandingannya adalah 3:1. Besarnya bagian tentara berkuda itu, menurut jumhur ulama, dikarenakan kuda membutuhkan makanan.
Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat bahwa tentara yang menggunakan selain kuda bagiannya sama dengan bagian tentara pejalan kaki, karena tidak ada hadisnya dari Rasulullah SAW.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, pendapat jumhur ulama lebih tepat karena Rasulullah SAW membagi kepada tentara berkuda tiga bagian, yaitu satu bagian untuk tentara dan dua bagian untuk kudanya (HR. Bukhari. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud. Tirmizi, Ahmad bin Hanbal, dan Baihaqi).
Syah Waliullah ad-Dahlawi berpendapat bahwa orang yang diutus oleh amir (komandan perang) untuk kemaslahatan tentara, seperti menjaga pos dan menjadi mata-mata, juga mendapat bagian dari bagian yang diperuntukkan bagi tentara, meskipun mereka tidak berada di medan perang.
Alasannya adalah karena Nabi Muhammad SAW memberi bagian harta ghanimah Perang Badar kepada Usman bin Affan, padahal ia tidak ikut bertempur, karena diperintahkan Rasulullah SAW untuk menjaga istrinya dan Ruqayyah binti Muhammad yang sakit (HR. Bukhari).
Di samping tentara, terdapat juga orang-orang yang ikut atau menyaksikan pertempuran yang tidak mempunyai saham tertentu dalam harta ghanimah. Mereka itu adalah wanita, anak-anak, budak, dan kafir dzimmi. Mereka tidak mendapat bagian yang sempurna seperti tentara, tetapi hanya diberi sedikit yang dikeluarkan dari yang seperlima.
Landasannya adalah hadis Nabi SAW. Tentang anak-anak, Rasulullah SAW pada Perang Khaibar mengeluarkan pemberian (bukan bagian) kepada anak-anak (HR. Tirmidzi).
Sedangkan tentang wanita dan budak, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Rasulullah SAW ditanya tentang wanita dan hamba sahaya. Nabi SAW menjelaskan bahwa mereka tidak memperoleh bagian, kecuali jika diberi (HR. Al-Khamsah (lima ahli hadis) kecuali Bukhari).
Berkenaan dengan nonmuslim dari kalangan dzimmi yang ikut berperang di pihak Islam, ulama fikih berbeda pendapat. Sufyan as-Sauri dan Abdurrahman al-Auza'i (keduanya ahli fikih dari kalangan tabiin) berpendapat bahwa mereka mendapat bagian (saham) dari harta ghanimah. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa mereka tidak mempunyai bagian, tetapi mereka diberi sedikit.
Khusus tentang harta ghanimah yang terdiri atas tanah, pembagiannya dapat dilakukan seperti harta ghanimah lainnya tersebut di atas, dan dapat juga diwakafkan kepada kaum Muslimin.
Tanah yang diwakafkan itu boleh digarap oleh baik muslim maupun kafir dzimmi.
Apabila tanah itu diwakafkan oleh imam, maka atas tanah itu dikenakan Wiara (pajak tanah) secara terus-menerus yang diambil dari penggarap atau pemegangnya. Kharaj itu merupakan sewa tanah yang diambil setiap tahun.
Nafal dan Hukum yang Terkait
Jumhur ulama berpendapat bahwa imam boleh memberi tambahan bagian kepada orang tertentu. Tambahan ini, menurut Wahbah Az-Zuhaili, sebagaimana tersebut di atas, disebut nafal. Nafal dapat teijadi dalam dua bentuk.
Pertama, nafal yang diberikan kepada tentara Islam tertentu dengan maksud mendorong semangat tempurnya. Dalam hal ini, panglima perang misalnya berkata kepada para tentara, "Barangsiapa mendapat barang rampasan, maka ia diberi sepempat atau sepertiga daripadanya." (QS. Al-Anfal: 65).
Tambahan pada bagian harta rampasan itu merupakan salah satu bentuk cara mengobarkan semangat jihad. Akan tetapi, menurut Wahbah Az- Zuhaili, bolehnya memberi bagian iebih kepada tentara tertentu sebagai pendorong semangat jihad disyaratkan sebelum dihasilkannya harta rampasan itu. Harta yang dijanjikan itu tidak termasuk dalam kategori harta ghanimah yang harus dibagi berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Kedua,harta yang diambil dari harta ghanimah. Imam Ahmad bin Hanbal, Imam asy-Syafi‘i, dan Imam Malik berpendapat bahwa imam boleh memberi tambahan bagian kepada orang tertentu sebanyak sepertiga atau seperempat dari bagian yang seharusnya mereka terima, sesuai dengan besamya jasa mereka.
Akan tetapi, mereka berbeda tentang asal harta ghanimah yang ditambahkan itu. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa tambahan itu diambil dari bagian harta ghanimah untuk tentara (yaitu yang empat perlima), sedangkan Imam asy-Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa tambahan itu boleh diambil dari yang seperlima, yaitu bagian yang dalam ayat di atas dinyatakan sebagai hak Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ad-Dahlawi juga membolehkan imam menambah atau mengurangi bagian tentara Islam tertentu berdasarkan taraf ekonomi masing-masing. Bagian orang kaya boleh dikurangi dan bagian orang miskin ditambah.
Salab dan Hukum yang TerkaitSalab adalah perlengkapan perang yang dirampas tentara Islam dari prajurit musuh yang gugur dibunuhnya.
Harta atau perlengkapan perang yang tidak secara langsung dibawanya, seperti senjata dan kudanya yang dipakai oleh tentara musuh yang lain atau pembantunya, tidak termasuk salab. Yang terakhir ini termasuk dalam kategori ghanimah.
Menurut ulama Mazhab Syafi'i dan Hanbali. tentara Islam yang berhasil membunuh prajurit musuh berhak atas salab-nya, meskipun tanpa izin imam.
Pendapat ini didasarkan pada pengertian umum hadis Nabi SAW, "Barangsiapa berhasil membunuh seorang prajurit musuh, maka ia mendapat salab- nya” (HR. Al-Jamaah (mayoritas ahli hadis), kecuali an-Nasa’i).
Akan tetapi, ulama Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa tentara Islam yang berhasil membunuh prajurit musuh tidak berhak atas harta salab kecuali seizin imam. Apabila imam mengizinkannya, maka menurut mereka, harta salab itu termasuk dalam kategori nafal.
Izin imam itu, misalnya, ucapan imam sebelum atau dalam peperangan kepada tentara Islam, “Barangsiapa berhasil membunuh seorang prajurit musuh, maka ia mendapat salab-nya.” Ucapan itu dimaksudkan untuk mendorong semangat jihad tentara Islam. Namun, apabila imam tidak mengizinkannya, maka harta salab itu termasuk dalam kategori ghanimah yang harus dibagi sesuai aturan yang berlaku.
Perbedaan pendapat di atas muncul karena terjadinya perbedaan penafsiran atas hadis di atas. Ulama Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa hadis itu merupakan ucapan Nabi SAW sebagai pemimpin perang.
Oleh karena ucapan itu merupakan upaya mengobarkan semangat perang dalam Perang Hunain, maka ia hanya berlaku dalam Perang Hunain itu. Sedangkan ulama Mazhab Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa hadis itu merupakan fatwa keagamaan yang berlaku sepanjang masa.
Fai dan Hukum yang TerkaitJika ghanimah, nafal, dan salab adalah harta yang dirampas tentara Islam dari musuh di medan perang. Fai adalah harta musuh yang diambil umat Islam tanpa melalui pertempuran.
Ayat Alquran tentang fai, yakni surah al-Hasyr (59) ayat 6-10, menyatakan bahwa harta fai adalah hak Rasulullah SAW dan beliau berhak mengeluarkannya untuk kepentingan apa pun.
Diriwayatkan bahwa harta Bani Nadir yang merupakan harta fai seluruhnya menjadi wewenang Nabi SAW. Harta itu sebagian dikeluarkannya untuk menafkahi keluarga setahun dan selebihnya untuk kepentingan kendaraan dan senjata (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal).
Setelah Nabi SAW wafat, ulama sepakat menyatakan bahwa harta fai menjadi milik umat Islam. Dalam hal ini, menurut ijmak ulama, pembagian harta fai diserahkan kepada pendapat dan ijtihad imam. Imam boleh menafkahkan harta itu untuk keperluan apa pun, sejauh menurut ijtihadnya mendatangkan kemaslahatan.
Sumber : Ensiklopedi Hukum Islam
Dalam terminologi fikih berarti rampasan perang, yakni harta yang diperoleh dari musuh Islam melalui peperangan dan pertempuran yang pembagiannya diatur oleh agama.
Ghanimah meliputi harta yang dapat dibawa dari perang, tawanan, dan tanah. Istilah-istilah yang berkaitan dengan ghanimah adalah nafal (jamaknya anfal) yang berarti tambahan, salab yang berarti rampasan.
Sayid Sabiq (ahli fikih asal Mesir) mengidentikkan ghanimah dengan nafal. Akan tetapi, menurut Wahbah Az- Zuhaili, guru besar ilmu fikih Universitas Damaskus, Suriah, keduanya berbeda.
Menurutnya, nafal adalah harta rampasan perang yang diberikan oleh imam secara khusus untuk tentara tertentu sebagai dorongan kepadanya agar aktif bertempur. Dinamakan demikian karena ia merupakan tambahan hak seseorang atas rampasan perang, lebih dari hak (saham) yang dimilikinya dalam pembagian harta ghanimah.
Salafa adalah perlengkapan perang (termasuk kuda atau unta yang ditunggangi) yang berhasil dirampas tentara Islam dari prajurit musuh yang dibunuhnya. Adapun fai adalah harta (rampasan perang) yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran.
Harta fai dapat muncul melalui banyak cara, seperti melalui perdamaian, jizyah, dan kharaj (pajak tanah). Harta fai' dapat juga timbul karena seorang musuh memasuki wilayah Islam membawa harta, kemudian hartanya diambil oleh umat Islam, atau terjadi karena tentara musuh lari meninggalkan harta bendanya sebelum terjadinya peperangan.
Di zaman jahiliah, masa sebelum Islam, kabilah- kabilah Arab jika menang dalam berperang akan mengambil ghanimah (harta yang dapat dibawa, tawanan, dan tanah) dan membagi-bagikannya kepada orang yang ikut serta berperang. Ketua mereka mendapat bagian yang besar.
Setelah Islam, adat kebiasaan yang sudah berjalan jauh sebelum Islam ini dikukuhkan. Ajaran Islam menyatakannya sebagai harta yang halal, dengan perbaikan-perbaikan tertentu berkenaan dengan cara pembagiannya.
Dalam Islam persoalan ini muncul pertama kali pada Perang Badar, yaitu pada 17 Ramadan 2 H.
Peperangan antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin Quraisy ini berakhir dengan kemenangan umat Islam. Karena kalah, kaum musyrikin meninggalkan harta yang banyak di medan perang.
Harta itu kemudian dikumpulkan dan diambil oleh umat Islam. Akan tetapi, segera setelah itu, umat Islam berbeda pendapat tentang cara pembagiannya.
Mereka kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itulah turun ayat Alquran yang menjelaskan tata cara pembagian rampasan perang.
Dasar hukum ghanimah, nafal, salab, dan faiBerkenaan dengan ghanimah atau nafal, Allah SWT berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS.Al-Anfal: 41).
Kemudian, “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: ‘Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman’.” (QS. Al-Anfal: 1).
Adapun landasan yang terdapat di dalam hadis di antaranya adalah hadis Nabi SAW, “Aku diberikan lima hal yang tidak pernah diberikan kepada nabi mana pun sebelumku. Aku ditolong di saat menghadapi kegoncangan sepanjang perjalanan sebulan, dijadikan bagiku tanah sebagai tempat bersujud serta bersuci, di mana pun umatku menemui waktu salat ia boleh shalat, dihalalkan untukku ganimah yang tidak dihalalkan kepada seorang nabi pun sebelumku, diberikan kepadaku syafaat, dan aku diutus untuk seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di dalam hadis lain Nabi SAW bersabda, "Tidak pernah dihalalkan ghanimah kepada seorang nabi pun sebelum kita. Halalnya ghanimah bagi kita karena Allah mengetahui kelemahan dan ketakberdayaan kita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan dasar hukum fai adalah firman Allah SWT, “Dan apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
“Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Juga) bagi fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan-(Nya)." (QS. Al-Hasyr: 6-8).
Hukum Ghanimah
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta ghanimah itu harus dibagi di wilayah Islam. Alasannya adalah karena pemilikan harta ghanimah tidak sempuma kecuali setelah dikuasai, dan penguasaan itu tidak sempuma kecuali setelah dibawa ke wilayah Islam.
Akan tetapi, mereka berpendapat jika imam membagi harta ghanimah itu di medan perang atau di wilayah musuh karena tuntutan keadaan tertentu, maka hukumnya adalah boleh.
Akan tetapi, jumhur ulama (Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali), ulama Mazhab Az-Zahiri, ulama Syiah Zaidiah dan Imamiah berpendapat bahwa imam boleh membagi harta ghanimah di wilayah musuh, dengan alasan Nabi SAW melakukan hal yang demikian pada Perang Hunain (HR. Bukhari dan Tabrani) dan perang dengan Bani Mustaliq (HR. Baihaqi).
Perbedaan antara ulama Mazhab Hanafi di satu pihak dan jumhur ulama di pihak lain terjadi karena perbedaan tentang waktu terwujudnya hak atas harta ghanimah itu.
Jumhur ulama, ulama Syiah Zaidiah dan Imamiah, dan ulama Mazhab Az-Zahiri berpendapat bahwa peralihan pemilikan harta rampasan dari tangan musuh ke tangan tentara Islam sudah terjadi ketika harta itu berhasil diambil dan dikuasai tentara Islam.
Sementara itu, menurut ulama Mazhab Hanafi, hal itu terwujud melalui tiga peringkat:
1. Ketika harta itu berhasil dirampas dan dikuasai tentara Islam di medan perang, maka terwujud prinsip hak secara umum.
2. Setelah harta ghanimah sampai di wilayah Islam dan belum dibagi-bagikan kepada yang berhak, hak umum itu diperkukuh; dan
3. Setelah dibagi-bagi, maka harta ghanimah menjadi hak milik pribadi.
Perbedaan pendapat tentang peralihan hak harta ghanimah itu menyebabkan munculnya perbedaan hukum tentang harta ghanimah yang masih berada di medan perang dan belum dibagi-bagikan. Perbedaan-perbedaan itu sebagai berikut:
1. Apabila seorang tentara Islam terbunuh di medan perang setelah harta ghanimah didapat, menurut jumhur ulama, haknya diwariskan kepada ahli warisnya, sementara menurut ulama Mazhab Hanafi. haknya tidak diwarisi oleh ahli warisnya.
2. Menurut jumhur ulama, imam boleh menjual harta ghanimah itu, sementara menurut ulama Mazhab Hanafi, imam tidak boleh menjualnya kecuali untuk kepentingan tentara.
3. Tentara yang merusak suatu barang ghanimah itu, menurut jumhur ulama, berkewajiban menggantinya, sementara menurut ulama Mazhab Hanafi, tidak wajib menggantinya. Bagi ulama Mazhab Hanafi, pendapat jumhur ulama tentang tiga masalah di atas baru berlaku setelah harta ghanimah itu membawa dan sampai di wilayah Islam.
Namun, semua ulama fikih sepakat bahwa berkhianat tentang harta ghanimah (gulul) ini hukumnya adalah haram karena dapat memecah-belah hati kaum Muslimin dan dapat menyebabkan kekalahan kaum Muslimin dalam peperangan.
Allah SWT berfirman, "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran: 161).
Disamping itu, Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang seseorang bernama Karkarah, “Dia di dalam neraka." Para sahabat kemudian pergi melihat orang itu dan mendapatkan di sisinya barang (harta rampasan perang) yang dicurinya.” (HR. Bukhari).
Di samping itu, ulama juga sepakat bahwa harta rampasan yang sudah dikuasai dan belum dibawa ke wilayah Islam, yaitu yang berupa barang konsumsi (makanan dan minuman), boleh dimanfaatkan, termasuk kayu bakar.
Alasan yang dianut jumhur ulama adalah firman Allah SWT, "Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS.Al-Anfal: 69).
Sejalan dengan itu Ibnu Umar berkata, "Dalam salah satu peperangan kami memperoleh madu dan anggur, kemudian kami makan dan tidak kami bagi-bagi.” (HR Bukhari).
Berkenaan dengan itu, Imam Malik berpendapat bahwa unta, sapi, dan kambing termasuk dalam kategori makanan yang bisa dimakan kaum Muslimin jika mereka berada di daerah musuh. Akan tetapi, menurut ulama Mazhab Hanafi, kebolehan itu disebabkan pemanfaatan seperti itu merupakan kebutuhan umum para tentara, baik kaya maupun miskin.
Menurut mereka, kebutuhan itu mendatangkan keadaan darurat. Karena alasan darurat, maka pemanfaatan itu hanya diperkenankan sejauh kebutuhan saat itu sudah terpenuhi, dan hanya berhubungan dengan konsumsi.
Di luar barang-barang konsumtif itu, ulama juga sepakat bahwa harta itu tidak boleh dimanfaatkan oleh tentara. Mereka juga sepakat, apabila terdapat harta ghanimah, seperti senjata atau hewan, yang tidak mungkin dibawa ke wilayah Islam karena adanya kesulitan tertentu, maka tentara Islam diperintahkan untuk menyembelih dan merusak senjata itu. Hal itu dimaksudkan agar barang-barang itu tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh musuh.
Pembagian GhanimahTata cara pembagian ghanimah sudah diatur di dalam Alquran pada surah Al-Anfal (8) ayat 41 seperti tersebut di atas. Harta ghanimah itu pertama-tama dibagi menjadi lima bagian. Seperlima menjadi hak Allah SWT sebagaimana tersebut di dalam ayat di atas.
Adapun sisanya yang betjumlah empat perlima dibagi-bagikan kepada tentara, sesuai dengan hadis Nabi SAW, "Seperlima untuk Allah dan empat perlima lainnya untuk tentara." (HR. Bukhari). Hal ini dianut oleh jumhur ulama.
Adapun hak kerabat Nabi SAW, menurut ulama Mazhab Hanafi, hanya dibagikan kepada kerabat yang miskin saja.
Sedangkan menurut jumhur ulama, semua kerabat Nabi SAW dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib mendapat bagian, baik kaya maupun miskin.
Alasan mereka karena Nabi SAW menyatakan bahwa mereka, kaya dan miskin, yang dekat dan yang jauh, laki-laki dan perempuan, semuanya mendapat bagian. Hanya saja lelaki mendapat dua kali bagian wanita (HR. Bukhari dan Ahmad bin Hanbal).
Menurut Zainal Abidin dan Imam Muhammad Al-Baqir (keduanya ulama Syiah), bagian kerabat Nabi SAW itu merupakan ganti dari zakat yang diharamkan bagi mereka untuk menerimanya.
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian seperlima di atas setelah Nabi SAW wafat. Imam Syafi‘i, Imam Ahmad bin Hanbal, ulama Mazhab az-Zahiri, dan para ahli hadis berpendapat bahwa yang seperlima itu tetap dibagi lima, satu bagian yang semula untuk Allah SWT dan Rasul-Nya dijadikan untuk kemaslahatan umum dan empat bagian lagi tetap seperti semula.
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa bagian Allah SWT dan Rasul-Nya dan bagian kerabat Nabi SAW menjadi hilang, karena bagiannya itu didasarkan pada kerasulan dan bukan pada kepemimpinannya.
Oleh karena itu, yang seperlima dari harta ghanimah tersebut hanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu untuk anak yatim, fakir miskin dan ibnu sabil. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa pembagiannya diserahkan kepada imam untuk dibelanjakan di jalan Allah SWT.
Tentang saham para tentara yang empat perlima dari harta ghanimah, menurut jumhur ulama, dibagikan kepada tentara Islam yang sudah memenuhi syarat berikut; ikut berperang, laki-laki, Muslim, dan merdeka.
Yang dimaksudkan dengan tentara yang ikut berperang adalah orang yang menyaksikan peperangan dan berniat untuk berjihad, meskipun ia tidak sampai bertempur bersama tentara Islam yang lain.
Pendapat ini didasarkan pada pendapat Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khathab (sahabat, dua khalifah pertama) yang mengatakan, "Ghanimah itu dibagikan kepada orang yang menyaksikan peperangan." (Riwayat at-Tabrani dan Baihaqi).
Oleh karena itu, menurut jumhur ulama, tentara bantuan yang datang ke medan perang setelah peperangan usai tidak mendapat bagian dari ghanimah ini. Akan tetapi, menurut ulama Mazhab Hanafi—sejalan dengan pendapat mereka tentang peringkat terjadinya pemilikan harta ghanimah di atas—tentara bantuan yang hadir sebelum harta ghanimah dibawa dan sampai di wilayah Islam, meskipun tidak sempat ikut serta dalam peperangan, mendapat bagian.
Para tentara itu dibagi dalam dua kategori, yaitu tentara berkuda dan tentara pejalan kaki.
Menurut ulama Mazhab Hanafi dan ulama Syiah Imamiah, perbandingan bagian tentara berkuda dan bagian tentara pejalan kaki adalah 2:1.
Akan tetapi, menurut jumhur ulama dan ulama Syiah Zaidiah, perbandingannya adalah 3:1. Besarnya bagian tentara berkuda itu, menurut jumhur ulama, dikarenakan kuda membutuhkan makanan.
Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat bahwa tentara yang menggunakan selain kuda bagiannya sama dengan bagian tentara pejalan kaki, karena tidak ada hadisnya dari Rasulullah SAW.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, pendapat jumhur ulama lebih tepat karena Rasulullah SAW membagi kepada tentara berkuda tiga bagian, yaitu satu bagian untuk tentara dan dua bagian untuk kudanya (HR. Bukhari. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud. Tirmizi, Ahmad bin Hanbal, dan Baihaqi).
Syah Waliullah ad-Dahlawi berpendapat bahwa orang yang diutus oleh amir (komandan perang) untuk kemaslahatan tentara, seperti menjaga pos dan menjadi mata-mata, juga mendapat bagian dari bagian yang diperuntukkan bagi tentara, meskipun mereka tidak berada di medan perang.
Alasannya adalah karena Nabi Muhammad SAW memberi bagian harta ghanimah Perang Badar kepada Usman bin Affan, padahal ia tidak ikut bertempur, karena diperintahkan Rasulullah SAW untuk menjaga istrinya dan Ruqayyah binti Muhammad yang sakit (HR. Bukhari).
Di samping tentara, terdapat juga orang-orang yang ikut atau menyaksikan pertempuran yang tidak mempunyai saham tertentu dalam harta ghanimah. Mereka itu adalah wanita, anak-anak, budak, dan kafir dzimmi. Mereka tidak mendapat bagian yang sempurna seperti tentara, tetapi hanya diberi sedikit yang dikeluarkan dari yang seperlima.
Landasannya adalah hadis Nabi SAW. Tentang anak-anak, Rasulullah SAW pada Perang Khaibar mengeluarkan pemberian (bukan bagian) kepada anak-anak (HR. Tirmidzi).
Sedangkan tentang wanita dan budak, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Rasulullah SAW ditanya tentang wanita dan hamba sahaya. Nabi SAW menjelaskan bahwa mereka tidak memperoleh bagian, kecuali jika diberi (HR. Al-Khamsah (lima ahli hadis) kecuali Bukhari).
Berkenaan dengan nonmuslim dari kalangan dzimmi yang ikut berperang di pihak Islam, ulama fikih berbeda pendapat. Sufyan as-Sauri dan Abdurrahman al-Auza'i (keduanya ahli fikih dari kalangan tabiin) berpendapat bahwa mereka mendapat bagian (saham) dari harta ghanimah. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa mereka tidak mempunyai bagian, tetapi mereka diberi sedikit.
Khusus tentang harta ghanimah yang terdiri atas tanah, pembagiannya dapat dilakukan seperti harta ghanimah lainnya tersebut di atas, dan dapat juga diwakafkan kepada kaum Muslimin.
Tanah yang diwakafkan itu boleh digarap oleh baik muslim maupun kafir dzimmi.
Apabila tanah itu diwakafkan oleh imam, maka atas tanah itu dikenakan Wiara (pajak tanah) secara terus-menerus yang diambil dari penggarap atau pemegangnya. Kharaj itu merupakan sewa tanah yang diambil setiap tahun.
Nafal dan Hukum yang Terkait
Jumhur ulama berpendapat bahwa imam boleh memberi tambahan bagian kepada orang tertentu. Tambahan ini, menurut Wahbah Az-Zuhaili, sebagaimana tersebut di atas, disebut nafal. Nafal dapat teijadi dalam dua bentuk.
Pertama, nafal yang diberikan kepada tentara Islam tertentu dengan maksud mendorong semangat tempurnya. Dalam hal ini, panglima perang misalnya berkata kepada para tentara, "Barangsiapa mendapat barang rampasan, maka ia diberi sepempat atau sepertiga daripadanya." (QS. Al-Anfal: 65).
Tambahan pada bagian harta rampasan itu merupakan salah satu bentuk cara mengobarkan semangat jihad. Akan tetapi, menurut Wahbah Az- Zuhaili, bolehnya memberi bagian iebih kepada tentara tertentu sebagai pendorong semangat jihad disyaratkan sebelum dihasilkannya harta rampasan itu. Harta yang dijanjikan itu tidak termasuk dalam kategori harta ghanimah yang harus dibagi berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Kedua,harta yang diambil dari harta ghanimah. Imam Ahmad bin Hanbal, Imam asy-Syafi‘i, dan Imam Malik berpendapat bahwa imam boleh memberi tambahan bagian kepada orang tertentu sebanyak sepertiga atau seperempat dari bagian yang seharusnya mereka terima, sesuai dengan besamya jasa mereka.
Akan tetapi, mereka berbeda tentang asal harta ghanimah yang ditambahkan itu. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa tambahan itu diambil dari bagian harta ghanimah untuk tentara (yaitu yang empat perlima), sedangkan Imam asy-Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa tambahan itu boleh diambil dari yang seperlima, yaitu bagian yang dalam ayat di atas dinyatakan sebagai hak Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ad-Dahlawi juga membolehkan imam menambah atau mengurangi bagian tentara Islam tertentu berdasarkan taraf ekonomi masing-masing. Bagian orang kaya boleh dikurangi dan bagian orang miskin ditambah.
Salab dan Hukum yang TerkaitSalab adalah perlengkapan perang yang dirampas tentara Islam dari prajurit musuh yang gugur dibunuhnya.
Harta atau perlengkapan perang yang tidak secara langsung dibawanya, seperti senjata dan kudanya yang dipakai oleh tentara musuh yang lain atau pembantunya, tidak termasuk salab. Yang terakhir ini termasuk dalam kategori ghanimah.
Menurut ulama Mazhab Syafi'i dan Hanbali. tentara Islam yang berhasil membunuh prajurit musuh berhak atas salab-nya, meskipun tanpa izin imam.
Pendapat ini didasarkan pada pengertian umum hadis Nabi SAW, "Barangsiapa berhasil membunuh seorang prajurit musuh, maka ia mendapat salab- nya” (HR. Al-Jamaah (mayoritas ahli hadis), kecuali an-Nasa’i).
Akan tetapi, ulama Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa tentara Islam yang berhasil membunuh prajurit musuh tidak berhak atas harta salab kecuali seizin imam. Apabila imam mengizinkannya, maka menurut mereka, harta salab itu termasuk dalam kategori nafal.
Izin imam itu, misalnya, ucapan imam sebelum atau dalam peperangan kepada tentara Islam, “Barangsiapa berhasil membunuh seorang prajurit musuh, maka ia mendapat salab-nya.” Ucapan itu dimaksudkan untuk mendorong semangat jihad tentara Islam. Namun, apabila imam tidak mengizinkannya, maka harta salab itu termasuk dalam kategori ghanimah yang harus dibagi sesuai aturan yang berlaku.
Perbedaan pendapat di atas muncul karena terjadinya perbedaan penafsiran atas hadis di atas. Ulama Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa hadis itu merupakan ucapan Nabi SAW sebagai pemimpin perang.
Oleh karena ucapan itu merupakan upaya mengobarkan semangat perang dalam Perang Hunain, maka ia hanya berlaku dalam Perang Hunain itu. Sedangkan ulama Mazhab Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa hadis itu merupakan fatwa keagamaan yang berlaku sepanjang masa.
Fai dan Hukum yang TerkaitJika ghanimah, nafal, dan salab adalah harta yang dirampas tentara Islam dari musuh di medan perang. Fai adalah harta musuh yang diambil umat Islam tanpa melalui pertempuran.
Ayat Alquran tentang fai, yakni surah al-Hasyr (59) ayat 6-10, menyatakan bahwa harta fai adalah hak Rasulullah SAW dan beliau berhak mengeluarkannya untuk kepentingan apa pun.
Diriwayatkan bahwa harta Bani Nadir yang merupakan harta fai seluruhnya menjadi wewenang Nabi SAW. Harta itu sebagian dikeluarkannya untuk menafkahi keluarga setahun dan selebihnya untuk kepentingan kendaraan dan senjata (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal).
Setelah Nabi SAW wafat, ulama sepakat menyatakan bahwa harta fai menjadi milik umat Islam. Dalam hal ini, menurut ijmak ulama, pembagian harta fai diserahkan kepada pendapat dan ijtihad imam. Imam boleh menafkahkan harta itu untuk keperluan apa pun, sejauh menurut ijtihadnya mendatangkan kemaslahatan.
Sumber : Ensiklopedi Hukum Islam