Oleh: Afriza Hanifa
Jika mualaf pada umumnya harus melalui perjuangan dan perjalanan
panjang dalam menemukan Islam, lain halnya dengan Cindy Weber. Ia merasa
jalan menuju Islam memang telah dipersiapkan untuknya.
“Saya
hanya berpikir bahwa Tuhan ingin membimbing saya, jadi tak ada
penghalang apa pun yang merintangi jalan saya menuju Islam,” ujarnya.
Sejak
kecil Cindy dibesarkan di Gereja Katolik. Ia dididik oleh biarawati
hingga akhirnya menjadi misionaris. Tak banyak yang diceritakan Cindy
bagaimana ia mempelajari Katolik dan menyebarkannya ke berbagai penjuru
dunia. Yang pasti, kisah hidayah Cindy bermula saat ia bertugas di Kenya
sebagai misionaris tentunya.
Di Kenya, Cindy banyak berinteraksi
dengan Muslim. Diam-diam, ia terpesona dengan kehidupan umat Islam.
Hanya itu yang menjadi kunci ketertarikannya pada Islam. “Saya melihat
bagaimana mereka menjalani hidup. Mereka memiliki kehidupan keluarga
yang baik dan saya pikir itu sesuatu yang saya cari," kisah Cindy dalam
program “They Chose Islam” di The Algerian TV yang bisa disaksikan di
YouTube.
Cindy melihat keluarga Muslim begitu bahagia. Mereka
gemar berkumpul, kemudian makan bersama. Pemandangan tersebut sangat
asing bagi Cindy yang terbiasa hidup di tengah individualisme masyarakat
AS. "Kondisi yang kontras bagi saya di Amerika yang saat Minggu sore
hanya di depan televisi, menonton permainan bola dengan sekotak bir.
Benar-benar terasa kosong," tuturnya mengenang.
Tak ada saudara
dan teman Muslim, apalagi ustaz, membuat wanita kelahiran Burlington,
Wisconsin, AS tersebut terpaksa menelaah Islam sendirian, secara
otodidak. Meski tanpa guru dan tanpa ada yang menjawab pertanyaannya
tentang keimanan, Cindy tak butuh waktu lama untuk memutuskan bahwa
Islam akan menjadi agamanya.
Tak ada keraguan sedikit pun. Cindy merasa seakan-akan diantar untuk
memeluk Islam saat kembali ke AS . Begitu mudah jalan Cindy hingga
kemudian menyatakan syahadat di Chicago.
Dua pekan sebelum
mengucap syahadat, Cindy sempat pergi ke Islamic Center di Chicago. Ia
hanya mengatakan, "Saya tertarik pada Islam". Padahal, saat itu Cindy
sudah mempelajari Islam, bahkan telah berniat untuk mengucapkan
syahadat.
Pengurus Islamic Center Chicago tersebut pun memberinya beberapa
literatur dan buku Islam. Setelah menerima buku tersebut, Cindy pun
pergi. Tetapi, tiba-tiba seorang Muslim dari Islamic Center tersebut
memanggilnya, "Tunggu, tunggu... Kenapa kau tak menjadi Muslim sekarang
saja?" Cindy menirukan pertanyaan Muslim tersebut.
"Well, saya hanya membaca buku-buku ini dan dan hal-hal serupa. Saya hanya memikirkan tentang itu," jawab Cindy.
"Baiklah,
apakah kau tahu jika kamu tidak menjadi Muslim hari ini, kemudian kamu
melintas jalan itu kemudian tewas, kau akan masuk neraka,” ujar Muslim
tersebut mengajak Cindy bersegera menuju kebaikan.
"Tidak, itu tidak mungkin karena saya seorang Katolik dan Katolik tak akan masuk neraka," kata Cindy.
"Oke,
kami tahu, kau sebenarnya ingin pergi minum dengan teman-temanmu,
meminum alkohol, semalam sebelum kau menjadi seorang Muslim. Itulah
mengapa kau tak ingin menjadi Muslim hari ini," ujar Muslim tersebut
menebak.
"Aku tidak minum alkohol," jawab Cindy berdusta.
Cindy tertawa kecil, pipinya memerah ketika mengisahkan percakapan
dengan pengurus Islamic Center tersebut. Ia benar-benar mengingat
peristiwa tersebut meski telah berlalu 25 tahun silam. Percakapan
tersebut berujung pada pemberian sebuah alamat masjid besar di Chicago.
Pengurus Islamic Center menyerah, Cindy tak langsung memeluk Islam
pada hari itu. "Jadi, saya menerima alamat (Masjid Besar Chicago) dan
dua minggu kemudian saya pergi ke sana, mengucapkan syahadat,” tutur
Cindy.
Begitu sederhana perjalanan sang misionaris hingga memeluk
agama Islam. Cindy mengatakan, jalan Islam memang seperti sudah
ditakdirkan baginya. Ia tak merasakan kesulitan sedikit pun. Sebaliknya,
kemudahan demi kemudahanlah yang ia alami saat menempuh jalan menuju
hidayah.
Berkiprah di bidang sosial
Setelah
memeluk Islam, Cindy menjadi Muslimah yang taat. Ia berjilbab, kemudian
menikah dengan pria Muslim dan tinggal di Dallas. Ia bahkan aktif di
sebuah yayasan kemanusiaan Islam dan menghabiskan waktunya untuk
berdakwah. Di sana ia membicarakan tentang Islam dan berbagi ilmu
melalui dakwah.
Yayasan tersebut melindungi komunitas pengungsi
di Dallas. Sekitar 50 persen pengungsi di sana adalah Muslim. "Kami
menerima mereka dan memberi tahu bahwa menerapkan syariat Islam di
Amerika itu mudah. Mereka dapat menjaga iman dan tak perlu
menyembuyikannya ataupun berpura-pura bukan sebagai Muslim," ujar Cindy.
Di
gedung pusat yayasan tersebut, shalat lima waktu digelar setiap hari.
Pelajaran agama Islam dan bahasa Arab pun diajarkan untuk anak-anak
Muslim. Ada pula kelas bahasa Inggris yang diikuti tak hanya oleh
anak-anak Muslim, tetapi juga non-Muslim. Bahkan, guru bahasa Inggris di
kelas tersebut merupakan seorang Katolik.
"Kami bermitra dengan yayasan Katolik dan mereka mengirimkan pengajar
aktif bahasa Inggris untuk mengajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa
kedua. Jadi, kami memiliki semua agama di sini, dan semua orang
menyambutnya," kata Cindy toleran.
Tujuh hari dalam sepekan,
waktunya dihabiskan di yayasan tersebut. Meski demikian, Cindy
menikmatinya. Tetapi, diakuinya, banyak hal yang berubah setelah ia
memeluk Islam. Setelah berislam dan berjilbab, Cindy sering kali
diperlakukan berbeda. Ketika belanja, misalnya, kasir sering kali
bersikap kasar.
"Itu hanya hal kecil, yang Anda hanya bisa menerimanya dan pergi
begitu saja karena Anda tahu bahwa orang itu tak akan bersikap seperti
itu jika tahu betapa bagusnya Islam. Yang perlu Anda lakukan hanyalah
berperilaku sebaik mungkin.”
Kini, Cindy adalah ibu dari dua anak yang beranjak dewasa. Mereka adalah
Lubabah (22 tahun) dan Abdullah Helwani (19). Berkat didikan Cindy,
mereka tumbuh menjadi pemuda-pemudi Muslim yang sarat prestasi.
Awalnya,
Cindy sempat khawatir dengan pengaruh budaya Barat yang bisa saja
“mencemari” kedua anaknya. Karena itu, ia terus menanamkan ajaran dan
nilai-nilai Islam dalam jiwa anak-anaknya sejak kecil.
“Pengaruh
budaya Barat memang membuat saya khawatir. Tapi, mudah-mudahan mereka
cukup mendapat didikan Islam yang akan membuat mereka selalu kembali ke
Islam saat menentukan pilihan hidup,” ujar Cindy bahagia sembari
mengenalkan kedua anaknya.
Si sulung, Lubabah, sangat aktif di
kampus. Ia bahkan mendapat banyak penghargaan seperti "Outstanding
Campus Leader" dalam Resbud Award Festival 2010, "Who's Who Among
Student in American University and Colleges", serta menjadi presiden
organisasi CAB di Texas Women's University.
Sejak kelas lima
sekolah dasar, Lubabah telah mengenakan jilbab. Saat pindah dari sekolah
Islam ke sekolah umum pun, ia tak pernah menanggalkan jilbabnya. "Hanya
karena Anda Muslim dan mengenakan hijab, bukan berarti Anda terhalang
untuk berprestasi dan mendapatkan penghargaan," ujar Lubabah.
Adapun
Abdullah telah lulus dari sekolah perfilman di Orlando. Saat ini, ia
kerja magang di Dewan Urusan Muslim Hollywood di Los Angeles. "Dia
seorang Muslim Amerika, remaja Amerika, dia baru saja lulus sekolah
film," kata Cindy sembari membuka e-mail dari Abdullah dan
memperlihatkan foto putranya tersebut.
Tak henti-hentinya Cindy
bersyukur melihat kesuksesan kedua anaknya. Ia telah berhasil mendidik
dan membesarkan mereka dalam nilai-nilai Islam. Cindy pun berhasil
menumbuhkan rasa percaya diri mereka sebagai Muslim sehingga tidak
merasa terkucil di tengah kelompok mayoritas yang memiliki keyakinan
berbeda.
Sumber : Republika.co.id
Cindy Weber: Misionaris yang Menemukan Kebenaran Islam
Written By Khalifah Muslim on Rabu, 30 Januari 2013 | 05.46
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.