Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah adalah Al Masih
putra Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israel, sembahlah
Allah Tuhanku dan Tuhanmu" Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya
ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong
pun.Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang
tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan
Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti
orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.(Qs Al-Maidah [5] : 72-73)
Imam al-Ghazali adalah salah seorang ulama klasik yang berusaha keras
mematahkan hujjah ketuhanan Yesus. Melalui bukunya yang berjudul
al-Raddul Jamil li-Ilahiyati ‘Isa, al-Ghazali membantah ketuhanan Yesus
dengan mengutip teks-teks Bibel. Buku ini menarik untuk dikaji karena
diterbitkan oleh UNESCO dalam bahasa Arab.
Imam al-Ghazali adalah
ulama yang sangat terkenal di zamannya sampai zaman sekarang ini. Nama
lengkapnya, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
At-Thusi Asy-Syafi’i (pengikut mazhab Syafi’i). Al-Ghazali lahir 450
H/1058 M dan wafat pada tahun 505H/1111M dalam usia 55 tahun. Karyanya
tidak kurang dari 200 buku, dan di antara karyanya yang sangat
monumental adalah “Ihya ‘Ulumiddin” (Revival of Religious Sciences). Ia
dikenal sebagai seorang filosof, ahli tasawwuf, ahli fikih, dan juga
bisa dikatakan sebagai seorang Kristolog. Ini terbukti lewat karyanya
al-Raddul Jamil, yang ditulisnya secara serius dan mendalam.
Dalam
bukunya, Al-Ghazali memberikan kritik-kritik terhadap kepercayaan kaum
Nasrani yang bertaklid kepada akidah pendahulunya, yang keliru. Kata
al-Ghazali dalam mukaddimah bukunya: “Aku melihat pembahasan-pembahasan
orang Nasrani tentang akidah mereka memiliki pondasi yang lemah. Orang
Nasrani menganggap agama mereka adalah syariat yang tidak bisa di
takwil”
Imam al-Ghazali juga berpendapat bahwa orang Nasrani
taklid kepada para filosof dalam soal keimanan. Misalnya dalam masalah
al-ittihad, yaitu menyatunya zat Allah dengan zat Yesus. Al-Ghazali
membantah teori al-ittihad kaum Nasrani. Menurutnya, anggapan bahwa Isa
a.s. mempunyai keterkaitan dengan Tuhan seperti keterkaitan jiwa dengan
badan, kemudian dengan keterkaitan ini terjadi hakikat ketiga yang
berbeda dengan dua hakikat tadi, adalah keliru. Menurutnya, bergabungnya
dua zat dan dua sifat (isytirak), kemudian menjadi hakikat lain yang
berbeda adalah hal yang mustahil yang tidak diterima akal.
Dalam
pandangan al-Ghazali, teori al-ittihad ini justru membuktikan bahwa
Yesus bukanlah Tuhan. Al-Ghazali menggunakan analogi mantik atau logika.
Ia berkata, ketika Yesus disalib, bukankah yang disalib adalah Tuhan,
apakah mungkin Tuhan disalib? Jadi, Yesus bukanlah Tuhan. Penjelasannya
dapat dilihat pada surat an-Nisa ayat 157: ”Dan tidaklah mereka
membunuhnya (Isa a.s..) dan tidak juga mereka menyalibnya akan tetapi
disamarkan kepada mereka”.
Selain al-ittihad, masalah al-hulul
tak kalah pentingnya. Menurut Al-Ghazali, makna al-hulul, artinya zat
Allah menempati setiap makhluk, sebenarnya dimaksudkan sebagai makna
majaz atau metafora. Dan itu digunakan sebagai perumpamaan seperti kata
“Bapa” dan ”Anak”. Misalnya seperti dalam Injil Yohannes pasal 14 ayat
10: “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di
dalam Aku. Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu
sendiri tetapi Bapa yang diam di dalam Aku, Dia-lah yang melakukan
pekerjaan-Nya.”
Dalam melakukan kajiannya, Imam al-Ghazali
merujuk kepada Bibel kaum Nasrani. Dalam al–Raddul Jamil, al-Ghazali
mencantumkan enam teks Bibel yang menurutnya menafikan ketuhanan Yesus,
dan dikuatkan dengan teks-teks Bibel lainnya sebagai tafsiran teks-teks
yang enam tadi.
Di antara teks yang dikritisi oleh al-Ghazali
adalah Injil Yohannes pasal 10 ayat 30-36, “Aku dan Bapa adalah satu.
Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus.
Kata Yesus kepada mereka: “banyak pekerjaan baik yang berasal dari
Bapa-ku yang kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah diantaranya yang
menyebabkan kamu mau melempari aku? Jawab orang-orang Yahudi itu: “bukan
karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari engkau, melainkan
karena engkau menghujat Allah dan karena engkau, sekalipun hanya seorang
manusia saja, menyamakan dirimu dengan Allah. Kata Yesus kepada mereka:
“tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu: Aku telah berfirman:
kamu adalah Allah? Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan,
disebut Allah – sedangkan kitab suci tidak dapat dibatalkan- masihkan
kamu berkata kepada dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah
diutus-Nya ke dalam dunia.” (Teks dikutip dsri Bibel terbitan Lembaga
Al-kitab Indonesia; Jakarta 2008.)
Teks ini, menurut al-Ghazali,
menerangkan masalah al-ittihad (menyatunya Allah dengan hamba-Nya).
Orang Yahudi mengingkari perkataan Yesus “aku dan Bapa adalah satu”.
Al-Ghazali berpendapat, perkataan Yesus, Isa A.S. “..aku dan Bapa adalah
satu” adalah makna metafora. Al-Ghazali mengkiaskannya seperti yang
terdapat dalam hadits Qudsi, dimana Allah berfirman: “Tidaklah
mendekatkan kepadaKu orang-orang yang mendekatkan diri dengan yang lebih
utama dari pada melakukan yang Aku fardhukan kepada mereka. Kemudian
tidaklah seorang hamba terus mendekatkan diri kepadaKu dengan hal-hal
yang sunnah sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya
maka Aku adalah pendengaran yang ia mendengar dengannya, penglihatan
yang ia melihat dengannya, lisannya yang ia berbicara dengannya dan
tangannya yang ia memukul dengannnya.”
Menurut Al-Ghazali, adalah
mustahil Sang Pencipta menempati indra-indra tersebut atau Allah adalah
salah satu dari indra-indra tersebut. Akan tetapi seorang hamba ketika
bersungguh-sungguh dalam ta’at kepada Allah, maka Allah akan
memberikannya kemampuan dan pertolongan yang ia mampu dengan keduanya
untuk berbicara dengan lisan-Nya, memukul dengan tanganNya, dan
lain-lainnya Makna metafora dalam teks Bibel dan hadits Qudsi itulah
yang dimaksudkan bersatunya manusia dengan Tuhan, bukan arti harfiahnya.
Demikianlah,
di abad ke-12 M, Imam al-Ghazali telah melalukan kajian yang serius
tantang agama-agama selain Islam. Kajian ini tentu saja sesuatu yang
jauh melampaui zamannya. Kritiknya terhadap konsep Ketuhanan Yesus
jelas didasari pada keyakinannya sebagai Muslim, berdasarkan penjelasan
al-Quranul Karim. Al-Ghazali bersifat seobjektif mungkin saat meneliti
fakta tentang konsep kaum Kristen soal Ketuhanan Yesus. Tapi, pada saat
yang sama, dia juga tidak melepaslan posisinya sebagai Muslim saat
mengkaji agama-agama.
Oleh, Rachmat Morado Sugiarto, M.A.
Alumnus Universitas Mulay Islamil, Meknes, Maroko [Islamic Defenders]
Alumnus Universitas Mulay Islamil, Meknes, Maroko [Islamic Defenders]