Mengenang Tragedi PEMBANTAIAN SADIS SALIBIS KEPADA SANTRI + USTADZ PESANTREN WALI SONGO POSO
Ket. Gambar (Jenazah santri + ustadz Pesantren Wali Songo +-300 orang korban pembantain SALIBIS Poso)
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya...(Qs Al-Maidah [5] : 32)
Hari itu..para santri dan asatidz di ikat tangannya, dikumpulkan, lalu diantri digorok lehernya satu-persatu seperti seekor kambing oleh salibis laknatullah dihadapan teman-temannya...seketika air sungai Poso berwarna merah darah...digenangi darah para syuhada......
KISAH USTADZ PESANTREN WALI SONGO YANG SELAMAT DARI PEMBANTAIAN
Kisah Pengasuh Ponpes Wali Songo Poso Yang Selamat Diikat dan Disiksa, Lolos Lewat Sungai
Kasus pertikaian di Poso tidak hanya membawa korban dan kerugian materil, tapi juga menjadi beban masyarakat lain yang tidak berdosa. Berikut cerita yang disajikan dalam gaya bertutur dari dua pengasuh Pondok Pesantren Wali Songo, Ilham (23) yang selamat dari penyanderaan, setelah Pondok Pesantren (Ponpes) Wali Songo dibumihanguskan.
PADA saat itu hari Kamis (1/6) kami masih berada di hutan bersama adik-adik (santri, red) yang lain. Setelah ditangkap, mereka memisahkan kami. Perempuan jalan terus, sedangkan kami disuruh tetap tinggal di hutan.
Setelah adik-adik santri dan ibu-ibu pergi, kami semua disuruh buka baju. Tangan kami diikat satu per satu. Jumlah kami saat itu ada 28 orang, menurut hitungan mereka (penyandera, red). Terdiri dari enam orang dari pesantren dan penduduk biasa.
Setelah diikat dengan tali nilon, kabel atau sabut kelapa, kami digandeng tiap lima orang. Saya sendiri diikat tiga ikatan. Kami digiring jalan melewati hutan, tembus di suatu desa Lembomao. Di sana kami berhenti sebentar. Mereka kayaknya memanggil pemimpinnya. Saat itu juga pemimpinnya keluar dan memerintahkan anggotanya untuk membawa.
Kami digiring lagi berjalan melewati jembatan gantung tembus di desa Ranononcu, terus dibawa ke Baruga. Di sana kami disiksa dalam keadaan berdiri, berbanjar membuat dua barisan. Setelah itu tangan kami ditambah ikatannya. Saya sendiri diikat dengan tali sabut kelapa kemudian ditambah dengan tali nilon warna biru, kemudian diikat dengan kabel.
Setelah itu kami disiksa dengan begitu sadis. Badan kami diiris-iris, ditendang, dipukul, pokoknya sudah segala macam penyiksaan, ada yang dipukul dengan gagang pedang, ada yang dengan popor senjata. Saya sudah tidak tahu lagi dengan alat apa semua yang mereka gunakan memukul kami.
Setelah disiksa mereka mengeluarkan pertanyaan kepada kami. pertanyaan pertama. Siapa yang tahu mengaji? Pertanyaan kedua siapa guru mengaji? Dan yang ketiga, siapa yang pernah naik mimbar, dan pertanyaan keempat, siapa yang imam. Pada saat itu, kami tidak ada yang mengaku.
Setelah disiksa, badan-badan kami diiris dan setelah ditaruh tanah, disiram air panas. Sekitar kurang lebih dua jam kami disiksa di tempat itu, kami dinaikkan ke mobil. Mereka tujukan ke arah atas. Menurut pengamatan kami saat itu ke arah Desa Togolu. Sampai di situ mereka giring ke pinggir kuala Poso.
Sampai di pinggiran kuala kami disuruh turun. Saya sendiri loncat dari mobil tersebut. Saya melihat teman saya sudah dibacok satu orang. Dan saat itu, saya langsung mengambil keputusan, berlari menuju kuala tersebut yang jaraknya kurang lebih 10 meter.
Sebelum kami turun dari mobil, mereka sudah berdiri untuk menjaga kami di pinggir kuala tersebut. Yang anehnya bagi saya. Mungkin sudah gerakan Allah, pada saat saya lari di antara mereka tidak ada yang bergerak.
Sekitar satu meter lagi dari pinggiran kuala, saya sudah terjun. Dan tiba-tiba ikatan yang mengikat tangan saya terlepas. Setelah saya terjun ke kuala baru mereka mengambil gerakan. Ada yang menembak, tapi alhamdulillah -saya berenang, muncul lagi untuk mengambil nafas sedikit, mereka menembak lagi. Menyelam lagi saya, sampai waktunya sekitar satu menit, baru saya sampai ke seberang kuala, dalam kondisi badan saya yang sudah teriris-iris.
Setelah saya sampai, saya langsung naik ke daratan. Lari ke hutan. Saya perkirakan dan melihat mereka tidak kelihatan lagi, saya balik ke kuala . Saya masuk melebur kembali mencari tempat yang aman – mendapatkan pinggir kuala, ada rumput yang menutup. Saya masuk di semak-semak rumput tersebut. Badan saya setengah dalam air, setengah di atas.
Dan saat itu mereka mengadakan pencarian pada saya. Mereka lewat, saya lihat mereka. Tetapi mereka tidak melihat saya. Pada saat itu waktunya, saya perkirakan jam 04.00 sore. Sekitar dua jam saya merendam di kuala, untuk menunggu waktu malam.
Setelah malam, saya naik ke darat untuk mengambil alat renang. Saya cabut pohon pisang. Setelah saya cabut, saya langsung buang ke kuala, saya gunakan untuk membantu berenang.
Baru sekitar 10 meter saya berenang, mereka sudah hadang di depan dengan senternya yang begitu terang. Saya melihat senter mereka itu seperti senter mobil. Jadi tidak mungkin pakai baterei, mungkin sudah memakai accu (aki, red) atau alat canggih lain.
Pada saat itu saya lepaskan pohon pisang yang saya pakai. Saya menyeberang kembali, mendekati kembali pinggiran kuala tersebut. Setelah itu tiba-tiba saya lihat ada tiga orang yang lewat kuala. Mungkin teman-teman saya, yang masih ada di hutan, yang belum tertangkap pada saat itu. Dan alhamdulillah, tiga orang lewat itu lolos.
Kemudian lewat lagi tiga orang naik perahu, dan ini kelihatan oleh pengejar. Mereka langsung mengejar dengan perahu pula. Dua yang lolos pada saat itu. Satu orang tertangkap. Dia berteriak-teriak “Saya tidak salah”. Kedengarannya mereka menyiksa. Dan pada saat itu tiba-tiba terdengar suara letusan. Dan teriakan itu langsung lenyap.
Setelah itu, saya berpikir, berarti saya ini akan tertangkap juga kalau saya teruskan untuk berenang. Saya ke darat dan duduk berdoa. Ya Allah turunkan lah hujan, ya Allah. Supaya mereka menghindar dari pinggiran kuala tersebut.
Dalam kurun waktu kurang lebih setengah jam, yang awalnya bintang-bintang lengkap di langit. Tiba-tiba gelap dan langsung turun hujan. Setelah hujan turun, saya berlari ke atas sekitar 20 meter. Kemudian saya masuk lagi ke dalam kuala, dan saya lanjutkan berenang.
Dalam jarak 10 meter lagi saya berenang ke bawah, ada lagi mereka yang menghadang di depan. Saya naik lagi ke daratan. Duduk saya di daratan berkisar kurang lebih satu jam. Badan saya kayaknya sudah tak mampu lagi digerakkan, dengan merasakan luka, kedinginan. Rasanya badan saya sudah tidak bisa lagi bergerak.
Pada saat itu, saya berpikir. Kalau siang di sini, saya sembunyi dimana lagi. Setelah pemikiran itu muncul kepasrahan, saya berdoa: bismillahi tawaqqaltu alallahi la haula wala quwata illah billah. Saya berdiri, lalu mencari alat bantu renang lagi. Alhamdulillah, saya ketemukan satu biji kelapa kering. Saya bawa kembali ke kuala.
Setelah saya masuk, melebur kembali ke kuala, rasanya badan ini sudah kuat kembali. Tangan dan kaki saya, yang semula sudah tidak mampu digerakkan, setelah saya melebur ke kuala, badan saya terasa pulih kembali. Kayaknya tidak ada luka yang melekat.
Setelah itu saya berenang sampai melewati pinggir kuala tersebut. Setiap pinggiran kuala tetap juga mereka jaga. Tetapi sudah tidak terlalu ketat. Karena hujan turun terus.
Saya temukan jembatan yang saya lewati pertama pada saat kami menuju di desa Ranononcu itu. Mereka berjaga di jembatan itu, alhamdulillah saya masih sempat lolos. Kemudian terus lagi, menemukan lagi jembatan satu. Yang pertama jembatan gantung Ranononcu dan yang kedua jembatan gantung Lembomawo.
Setelah itu, saya terus lanjutkan berenang. Dan apabila mereka mencari, menyenter dari sebelah, saya menghindar, menyeberang ke sebelah. Jadi, saya memotong-motong kuala Poso itu, yang jaraknya, yang disebut orang sering ambil korban manusia, ada buaya kayaknya sudah tidak lagi saya pikirkan.
Setelah itu, saya tiba di jembatan II Poso, yang direncanakan untuk dijadikan “kriminal dua”. Setelah mendekati jembatan tersebut, saya melihat pancaran cahaya. Lampu mereka begitu terang. Mereka memakai lampu sorot. Mereka pancarkan ke kuala tersebut. Kualanya terang sekali. Jadi apapun yang lewat, kayu sepenggal pun yang lewat, kelihatan dalam kuala tersebut. Tetap saya terus dan berhenti di jembatan tersebut.
Saya berhenti di bawah jembatan dan berdiri serta duduk bergantian sambil berpikir, bagaimana caranya bisa lolos. Sedangkan kuala ini terang sekali. Berpikir saya di situ sekitar satu jam. Bagaimana caranya, tidak ada hasil. Kayaknya, secara jernih saya tidak mampu lagi untuk berpikir, bagaimana caranya untuk lolos.
Setelah itu, saya terpikir dalam satu firman “Jangan takut Allah bersama kita”. Saya membaca doa bismillahi tawaqqaltu alallahi la haula wala quwata illah billah. Segala daya dan kekuatan saya serahkan kepada Allah sepenuhnya. Muncul keyakinan saya pada saat itu, saya langsung meloncat berenang ke kuala.
Setelah saya mendekati lampu tersebut, tiba-tiba lampunya langsung mati. Saya berpikir jangan-jangan saya dijebak, dengan sengaja mematikan senter, agar saya terus berenang.
Dan setelah melewati tempat terang tersebut baru lampunya menyala. Tidak tahu mengapa lampu mereka mati. Berarti mereka sebenarnya bukan menjebak saya. Tetapi memang benar lampunya mati pada saat itu. Mungkin sudah digariskan oleh Allah. Sudah memberikan pertolongan pada saat itu kepada saya.
Sebagai manusia biasa, yang sudah luka parah, muka saya sudah hancur dipukul, mungkin tidak bisa melanjutkan perjalanan. Tapi kekuatan yang ada, saya melanjutkan berenang melewati jembatan dan tiba-tiba saya mendengar suara azan. Berarti menandakan waktu subuh atau pagi telah tiba. Saya makin cepat berenang sebelum terang, karena kalau sudah siang mereka akan temukan saya.
Sekitar pukul 6 pagi saya mendengar suara pengumuman yang menyebutkan nama kompi. Saya berpikir bahwa itu adalah asrama tentara dan langsung mendekati. Di dekat lokasi asrama saya melihat seorang pemuda dan saya tanyakan asalnya.
Saya juga tanya mengapa ada disini dan pemuda itu mengatakan dirinya pengungsi. Saya tanya lagi agamamu apa, dan dia menjawab agama Islam. Disaat dia menjawab Islam, saya langsung mengatakan tolong, dan dia pun langsung menolong saya membawa ke asrama kompi dan dirawat.
Pada saat disiksa, saya melihat seorang aparat tentara yang juga saya sudah pernah lihat sebelumnya. Waktu di kompi saya juga melihat tentara itu, kami sempat berpapasan mata kemudian tentara itu langsung pergi. Saya periksa di semua ruangan tentara itu tidak ada. Saya yakin dia adalah tentara yang saya lihat ketika saya disiksa. (ud/jpnn)
Source : Riau Pos Rabu, 14 Juni 2000
Nb :
*Inilah bukti nyata tidak toleransinya Kristen Di Indonesia.
*Tidak ada satupun Media Massa Nasional yang memuat Tragedi ini.. Sangat berbeda kalau seandainya yang menjadi korban orang Kristen.. Media massa gencar sekali memberitakan.. BUKTI KETIDAKADILAN MEDIA MASSA !
*AGAMA KASIH TERNYATA HANYA SEKEDAR SLOGAN SAJA..
Ket. Gambar (Jenazah santri + ustadz Pesantren Wali Songo +-300 orang korban pembantain SALIBIS Poso)
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya...(Qs Al-Maidah [5] : 32)
Hari itu..para santri dan asatidz di ikat tangannya, dikumpulkan, lalu diantri digorok lehernya satu-persatu seperti seekor kambing oleh salibis laknatullah dihadapan teman-temannya...seketika air sungai Poso berwarna merah darah...digenangi darah para syuhada......
KISAH USTADZ PESANTREN WALI SONGO YANG SELAMAT DARI PEMBANTAIAN
Kisah Pengasuh Ponpes Wali Songo Poso Yang Selamat Diikat dan Disiksa, Lolos Lewat Sungai
Kasus pertikaian di Poso tidak hanya membawa korban dan kerugian materil, tapi juga menjadi beban masyarakat lain yang tidak berdosa. Berikut cerita yang disajikan dalam gaya bertutur dari dua pengasuh Pondok Pesantren Wali Songo, Ilham (23) yang selamat dari penyanderaan, setelah Pondok Pesantren (Ponpes) Wali Songo dibumihanguskan.
PADA saat itu hari Kamis (1/6) kami masih berada di hutan bersama adik-adik (santri, red) yang lain. Setelah ditangkap, mereka memisahkan kami. Perempuan jalan terus, sedangkan kami disuruh tetap tinggal di hutan.
Setelah adik-adik santri dan ibu-ibu pergi, kami semua disuruh buka baju. Tangan kami diikat satu per satu. Jumlah kami saat itu ada 28 orang, menurut hitungan mereka (penyandera, red). Terdiri dari enam orang dari pesantren dan penduduk biasa.
Setelah diikat dengan tali nilon, kabel atau sabut kelapa, kami digandeng tiap lima orang. Saya sendiri diikat tiga ikatan. Kami digiring jalan melewati hutan, tembus di suatu desa Lembomao. Di sana kami berhenti sebentar. Mereka kayaknya memanggil pemimpinnya. Saat itu juga pemimpinnya keluar dan memerintahkan anggotanya untuk membawa.
Kami digiring lagi berjalan melewati jembatan gantung tembus di desa Ranononcu, terus dibawa ke Baruga. Di sana kami disiksa dalam keadaan berdiri, berbanjar membuat dua barisan. Setelah itu tangan kami ditambah ikatannya. Saya sendiri diikat dengan tali sabut kelapa kemudian ditambah dengan tali nilon warna biru, kemudian diikat dengan kabel.
Setelah itu kami disiksa dengan begitu sadis. Badan kami diiris-iris, ditendang, dipukul, pokoknya sudah segala macam penyiksaan, ada yang dipukul dengan gagang pedang, ada yang dengan popor senjata. Saya sudah tidak tahu lagi dengan alat apa semua yang mereka gunakan memukul kami.
Setelah disiksa mereka mengeluarkan pertanyaan kepada kami. pertanyaan pertama. Siapa yang tahu mengaji? Pertanyaan kedua siapa guru mengaji? Dan yang ketiga, siapa yang pernah naik mimbar, dan pertanyaan keempat, siapa yang imam. Pada saat itu, kami tidak ada yang mengaku.
Setelah disiksa, badan-badan kami diiris dan setelah ditaruh tanah, disiram air panas. Sekitar kurang lebih dua jam kami disiksa di tempat itu, kami dinaikkan ke mobil. Mereka tujukan ke arah atas. Menurut pengamatan kami saat itu ke arah Desa Togolu. Sampai di situ mereka giring ke pinggir kuala Poso.
Sampai di pinggiran kuala kami disuruh turun. Saya sendiri loncat dari mobil tersebut. Saya melihat teman saya sudah dibacok satu orang. Dan saat itu, saya langsung mengambil keputusan, berlari menuju kuala tersebut yang jaraknya kurang lebih 10 meter.
Sebelum kami turun dari mobil, mereka sudah berdiri untuk menjaga kami di pinggir kuala tersebut. Yang anehnya bagi saya. Mungkin sudah gerakan Allah, pada saat saya lari di antara mereka tidak ada yang bergerak.
Sekitar satu meter lagi dari pinggiran kuala, saya sudah terjun. Dan tiba-tiba ikatan yang mengikat tangan saya terlepas. Setelah saya terjun ke kuala baru mereka mengambil gerakan. Ada yang menembak, tapi alhamdulillah -saya berenang, muncul lagi untuk mengambil nafas sedikit, mereka menembak lagi. Menyelam lagi saya, sampai waktunya sekitar satu menit, baru saya sampai ke seberang kuala, dalam kondisi badan saya yang sudah teriris-iris.
Setelah saya sampai, saya langsung naik ke daratan. Lari ke hutan. Saya perkirakan dan melihat mereka tidak kelihatan lagi, saya balik ke kuala . Saya masuk melebur kembali mencari tempat yang aman – mendapatkan pinggir kuala, ada rumput yang menutup. Saya masuk di semak-semak rumput tersebut. Badan saya setengah dalam air, setengah di atas.
Dan saat itu mereka mengadakan pencarian pada saya. Mereka lewat, saya lihat mereka. Tetapi mereka tidak melihat saya. Pada saat itu waktunya, saya perkirakan jam 04.00 sore. Sekitar dua jam saya merendam di kuala, untuk menunggu waktu malam.
Setelah malam, saya naik ke darat untuk mengambil alat renang. Saya cabut pohon pisang. Setelah saya cabut, saya langsung buang ke kuala, saya gunakan untuk membantu berenang.
Baru sekitar 10 meter saya berenang, mereka sudah hadang di depan dengan senternya yang begitu terang. Saya melihat senter mereka itu seperti senter mobil. Jadi tidak mungkin pakai baterei, mungkin sudah memakai accu (aki, red) atau alat canggih lain.
Pada saat itu saya lepaskan pohon pisang yang saya pakai. Saya menyeberang kembali, mendekati kembali pinggiran kuala tersebut. Setelah itu tiba-tiba saya lihat ada tiga orang yang lewat kuala. Mungkin teman-teman saya, yang masih ada di hutan, yang belum tertangkap pada saat itu. Dan alhamdulillah, tiga orang lewat itu lolos.
Kemudian lewat lagi tiga orang naik perahu, dan ini kelihatan oleh pengejar. Mereka langsung mengejar dengan perahu pula. Dua yang lolos pada saat itu. Satu orang tertangkap. Dia berteriak-teriak “Saya tidak salah”. Kedengarannya mereka menyiksa. Dan pada saat itu tiba-tiba terdengar suara letusan. Dan teriakan itu langsung lenyap.
Setelah itu, saya berpikir, berarti saya ini akan tertangkap juga kalau saya teruskan untuk berenang. Saya ke darat dan duduk berdoa. Ya Allah turunkan lah hujan, ya Allah. Supaya mereka menghindar dari pinggiran kuala tersebut.
Dalam kurun waktu kurang lebih setengah jam, yang awalnya bintang-bintang lengkap di langit. Tiba-tiba gelap dan langsung turun hujan. Setelah hujan turun, saya berlari ke atas sekitar 20 meter. Kemudian saya masuk lagi ke dalam kuala, dan saya lanjutkan berenang.
Dalam jarak 10 meter lagi saya berenang ke bawah, ada lagi mereka yang menghadang di depan. Saya naik lagi ke daratan. Duduk saya di daratan berkisar kurang lebih satu jam. Badan saya kayaknya sudah tak mampu lagi digerakkan, dengan merasakan luka, kedinginan. Rasanya badan saya sudah tidak bisa lagi bergerak.
Pada saat itu, saya berpikir. Kalau siang di sini, saya sembunyi dimana lagi. Setelah pemikiran itu muncul kepasrahan, saya berdoa: bismillahi tawaqqaltu alallahi la haula wala quwata illah billah. Saya berdiri, lalu mencari alat bantu renang lagi. Alhamdulillah, saya ketemukan satu biji kelapa kering. Saya bawa kembali ke kuala.
Setelah saya masuk, melebur kembali ke kuala, rasanya badan ini sudah kuat kembali. Tangan dan kaki saya, yang semula sudah tidak mampu digerakkan, setelah saya melebur ke kuala, badan saya terasa pulih kembali. Kayaknya tidak ada luka yang melekat.
Setelah itu saya berenang sampai melewati pinggir kuala tersebut. Setiap pinggiran kuala tetap juga mereka jaga. Tetapi sudah tidak terlalu ketat. Karena hujan turun terus.
Saya temukan jembatan yang saya lewati pertama pada saat kami menuju di desa Ranononcu itu. Mereka berjaga di jembatan itu, alhamdulillah saya masih sempat lolos. Kemudian terus lagi, menemukan lagi jembatan satu. Yang pertama jembatan gantung Ranononcu dan yang kedua jembatan gantung Lembomawo.
Setelah itu, saya terus lanjutkan berenang. Dan apabila mereka mencari, menyenter dari sebelah, saya menghindar, menyeberang ke sebelah. Jadi, saya memotong-motong kuala Poso itu, yang jaraknya, yang disebut orang sering ambil korban manusia, ada buaya kayaknya sudah tidak lagi saya pikirkan.
Setelah itu, saya tiba di jembatan II Poso, yang direncanakan untuk dijadikan “kriminal dua”. Setelah mendekati jembatan tersebut, saya melihat pancaran cahaya. Lampu mereka begitu terang. Mereka memakai lampu sorot. Mereka pancarkan ke kuala tersebut. Kualanya terang sekali. Jadi apapun yang lewat, kayu sepenggal pun yang lewat, kelihatan dalam kuala tersebut. Tetap saya terus dan berhenti di jembatan tersebut.
Saya berhenti di bawah jembatan dan berdiri serta duduk bergantian sambil berpikir, bagaimana caranya bisa lolos. Sedangkan kuala ini terang sekali. Berpikir saya di situ sekitar satu jam. Bagaimana caranya, tidak ada hasil. Kayaknya, secara jernih saya tidak mampu lagi untuk berpikir, bagaimana caranya untuk lolos.
Setelah itu, saya terpikir dalam satu firman “Jangan takut Allah bersama kita”. Saya membaca doa bismillahi tawaqqaltu alallahi la haula wala quwata illah billah. Segala daya dan kekuatan saya serahkan kepada Allah sepenuhnya. Muncul keyakinan saya pada saat itu, saya langsung meloncat berenang ke kuala.
Setelah saya mendekati lampu tersebut, tiba-tiba lampunya langsung mati. Saya berpikir jangan-jangan saya dijebak, dengan sengaja mematikan senter, agar saya terus berenang.
Dan setelah melewati tempat terang tersebut baru lampunya menyala. Tidak tahu mengapa lampu mereka mati. Berarti mereka sebenarnya bukan menjebak saya. Tetapi memang benar lampunya mati pada saat itu. Mungkin sudah digariskan oleh Allah. Sudah memberikan pertolongan pada saat itu kepada saya.
Sebagai manusia biasa, yang sudah luka parah, muka saya sudah hancur dipukul, mungkin tidak bisa melanjutkan perjalanan. Tapi kekuatan yang ada, saya melanjutkan berenang melewati jembatan dan tiba-tiba saya mendengar suara azan. Berarti menandakan waktu subuh atau pagi telah tiba. Saya makin cepat berenang sebelum terang, karena kalau sudah siang mereka akan temukan saya.
Sekitar pukul 6 pagi saya mendengar suara pengumuman yang menyebutkan nama kompi. Saya berpikir bahwa itu adalah asrama tentara dan langsung mendekati. Di dekat lokasi asrama saya melihat seorang pemuda dan saya tanyakan asalnya.
Saya juga tanya mengapa ada disini dan pemuda itu mengatakan dirinya pengungsi. Saya tanya lagi agamamu apa, dan dia menjawab agama Islam. Disaat dia menjawab Islam, saya langsung mengatakan tolong, dan dia pun langsung menolong saya membawa ke asrama kompi dan dirawat.
Pada saat disiksa, saya melihat seorang aparat tentara yang juga saya sudah pernah lihat sebelumnya. Waktu di kompi saya juga melihat tentara itu, kami sempat berpapasan mata kemudian tentara itu langsung pergi. Saya periksa di semua ruangan tentara itu tidak ada. Saya yakin dia adalah tentara yang saya lihat ketika saya disiksa. (ud/jpnn)
Source : Riau Pos Rabu, 14 Juni 2000
Nb :
*Inilah bukti nyata tidak toleransinya Kristen Di Indonesia.
*Tidak ada satupun Media Massa Nasional yang memuat Tragedi ini.. Sangat berbeda kalau seandainya yang menjadi korban orang Kristen.. Media massa gencar sekali memberitakan.. BUKTI KETIDAKADILAN MEDIA MASSA !
*AGAMA KASIH TERNYATA HANYA SEKEDAR SLOGAN SAJA..