Proses penerjemahan harus mengacu langsung pada Alquran berbahasa Arab.Menerjemahkan Alquran selalu menjadi sebuah isu yang sulit dalam teologi Islam. “Karena, Muslim menghormati Alquran sebagai mukjizat dan tak bisa ditiru,” ujar Afnan Fatani dalam Translation and the Qur'an.
Terlebih, kata-kata dalam Alquran memiliki berbagai arti tergantung pada konteks sehingga untuk membuat sebuah terjemahan yang akurat amatlah sulit.
Hal ini terjadi hampir di seluruh dunia. Alquran terjemahan yang diterbitkan dalam bahasa Eropa, misalnya, memiliki perbedaan dengan terjemahan Alquran di negara-negara Asia.
Perbedaan tersebut terjadi karena di Eropa banyak terjadi distorsi, baik berupa penambahan maupun pengurangan. Selain itu, orang-orang Eropa menganggap Alquran sebagai teks biasa, tidak sama dengan orang-orang Asia yang sangat menjunjung tinggi kesucian Alquran.
Karena itu, perlu dipahami bahwa menerjemahkan Alquran bukanlah usaha untuk menduplikasi atau mengganti teks Alquran yang asli. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan manusia tidak sama dengan Alquran itu sendiri.
Keaslian dan kemurnian Alquran dijaga oleh tangan Ilahi. “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9). Konsep ini pula yang dijunjung tinggi ketika menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa daerah.
Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan Kementerian Agama, Andy Bahruddin Malik, menyatakan penerjemahan Alquran ke dalam bahasa daerah tidak bisa langsung dilakukan dari Alquran yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. “Proses penerjemahan harus mengacu langsung pada Alquran berbahasa Arab,” katanya.
Penerjemahan Alquran yang dilakukan Kementerian Agama sendiri harus mengacu pada Alquran terjemahan Kementerian Agama. “Alquran ini sudah diterjemahkan oleh ulama pilihan dan mempertimbangkan wawasan multikultural. Jangan sampai menyimpang dari Alquran tersebut sehingga malah menimbulkan masalah baru,” kata Andy.
Terlebih, kata-kata dalam Alquran memiliki berbagai arti tergantung pada konteks sehingga untuk membuat sebuah terjemahan yang akurat amatlah sulit.
Hal ini terjadi hampir di seluruh dunia. Alquran terjemahan yang diterbitkan dalam bahasa Eropa, misalnya, memiliki perbedaan dengan terjemahan Alquran di negara-negara Asia.
Perbedaan tersebut terjadi karena di Eropa banyak terjadi distorsi, baik berupa penambahan maupun pengurangan. Selain itu, orang-orang Eropa menganggap Alquran sebagai teks biasa, tidak sama dengan orang-orang Asia yang sangat menjunjung tinggi kesucian Alquran.
Karena itu, perlu dipahami bahwa menerjemahkan Alquran bukanlah usaha untuk menduplikasi atau mengganti teks Alquran yang asli. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan manusia tidak sama dengan Alquran itu sendiri.
Keaslian dan kemurnian Alquran dijaga oleh tangan Ilahi. “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9). Konsep ini pula yang dijunjung tinggi ketika menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa daerah.
Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan Kementerian Agama, Andy Bahruddin Malik, menyatakan penerjemahan Alquran ke dalam bahasa daerah tidak bisa langsung dilakukan dari Alquran yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. “Proses penerjemahan harus mengacu langsung pada Alquran berbahasa Arab,” katanya.
Penerjemahan Alquran yang dilakukan Kementerian Agama sendiri harus mengacu pada Alquran terjemahan Kementerian Agama. “Alquran ini sudah diterjemahkan oleh ulama pilihan dan mempertimbangkan wawasan multikultural. Jangan sampai menyimpang dari Alquran tersebut sehingga malah menimbulkan masalah baru,” kata Andy.
Ahli bahasa daerah
Penerjemahan Alquran ke dalam bahasa daerah tak hanya dilakukan oleh mereka yang mengerti bahasa Arab.
Dalam hal ini, dilibatkan pula orang-orang yang memiliki kemampuan berbahasa daerah cukup baik.
“Dengan demikian, hasil penerjemahan Alquran tersebut akan memiliki 'cita rasa' kedaerahan yang kuat sehingga pesan yang ada di dalam Alquran bisa tersampaikan dengan baik,” ujar Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan Kementerian Agama, Andy Bahruddin Malik.
Keterlibatan ahli bahasa daerah, lanjut Andy, juga sangat diperlukan karena kerumitan yang dimiliki oleh bahasa daerah. “Terkadang ada sejumlah kata bahasa Arab yang tidak ada padanannya dalam bahasa daerah.”
Atau, satu kata bahasa daerah bisa memiliki beragam pilihan kata. Tentu kata-kata yang digunakan dalam Alquran terjemahan adalah kata-kata yang baik dan sopan. Misalnya, 'aku' dalam bahasa Minang dituturkan dalam berbagai kata, seperti aden, ambo, dan awak. “Jadi, harus pintar memilih kata yang paling tepat digunakan untuk terjemahan Alquran,” tambahnya.
Kata-kata yang dipilih adalah yang bisa mewakili rasa yang dihadirkan dalam sebuah ayat dalam Alquran. “Misalnya, ketika Allah marah, kata-kata daerah seperti apa yang bisa digunakan untuk mengekspresikan keadaan itu. Tidak boleh salah,” ujar Andy.
Pertimbangan tersebut juga dilakukan ketika Kementerian Agama menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Dayak. Sebab, bahasa Dayak memiliki puluhan hingga ratusan dialek. Sehingga Kementerian Agama harus memutuskan dulu, dialek mana yang paling bisa dipahami.
Untuk itu, jelas Andy, Kemenag memanggil para ahli dan melakukan focus group discussion (FGD) untuk menentukan hal tersebut. “Mereka akan memberikan masukan kepada kami sebelum mengambil keputusan,” katanya.
Kata-kata dalam bahasa Arab juga tak kalah rumit. Misalnya, untuk menjelaskan unta, bahasa Arab punya beberapa kata, seperti “jamal” atau “ibil”. Padahal, dalam bahasa daerah hanya satu kata unta yang dikenal.
Jadi, bahasa daerah yang memiliki kekayaan kata akan lebih baik dan akan membuat proses penerjemahan Alquran bisa berjalan lebih cepat. Proses penerjemahan Alquran biasanya membutuhkan waktu cukup lama, setidaknya satu tahun atau lebih.
Penerjemahan Alquran ke dalam bahasa daerah tak hanya dilakukan oleh mereka yang mengerti bahasa Arab.
Dalam hal ini, dilibatkan pula orang-orang yang memiliki kemampuan berbahasa daerah cukup baik.
“Dengan demikian, hasil penerjemahan Alquran tersebut akan memiliki 'cita rasa' kedaerahan yang kuat sehingga pesan yang ada di dalam Alquran bisa tersampaikan dengan baik,” ujar Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan Kementerian Agama, Andy Bahruddin Malik.
Keterlibatan ahli bahasa daerah, lanjut Andy, juga sangat diperlukan karena kerumitan yang dimiliki oleh bahasa daerah. “Terkadang ada sejumlah kata bahasa Arab yang tidak ada padanannya dalam bahasa daerah.”
Atau, satu kata bahasa daerah bisa memiliki beragam pilihan kata. Tentu kata-kata yang digunakan dalam Alquran terjemahan adalah kata-kata yang baik dan sopan. Misalnya, 'aku' dalam bahasa Minang dituturkan dalam berbagai kata, seperti aden, ambo, dan awak. “Jadi, harus pintar memilih kata yang paling tepat digunakan untuk terjemahan Alquran,” tambahnya.
Kata-kata yang dipilih adalah yang bisa mewakili rasa yang dihadirkan dalam sebuah ayat dalam Alquran. “Misalnya, ketika Allah marah, kata-kata daerah seperti apa yang bisa digunakan untuk mengekspresikan keadaan itu. Tidak boleh salah,” ujar Andy.
Pertimbangan tersebut juga dilakukan ketika Kementerian Agama menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Dayak. Sebab, bahasa Dayak memiliki puluhan hingga ratusan dialek. Sehingga Kementerian Agama harus memutuskan dulu, dialek mana yang paling bisa dipahami.
Untuk itu, jelas Andy, Kemenag memanggil para ahli dan melakukan focus group discussion (FGD) untuk menentukan hal tersebut. “Mereka akan memberikan masukan kepada kami sebelum mengambil keputusan,” katanya.
Kata-kata dalam bahasa Arab juga tak kalah rumit. Misalnya, untuk menjelaskan unta, bahasa Arab punya beberapa kata, seperti “jamal” atau “ibil”. Padahal, dalam bahasa daerah hanya satu kata unta yang dikenal.
Jadi, bahasa daerah yang memiliki kekayaan kata akan lebih baik dan akan membuat proses penerjemahan Alquran bisa berjalan lebih cepat. Proses penerjemahan Alquran biasanya membutuhkan waktu cukup lama, setidaknya satu tahun atau lebih.