Rabu, 26 Desember 2012 lalu adalah hari paling menyesakkan dada bagi
Kurnianto Ahmad Syaiful (27) beserta keluarganya. Bagaimana tidak? Pada
hari itu anak kesayangannya Ayu Tria Desiani (9) yang menderita leukemia
(kanker darah) meninggal di RSAB Harapan Kita, Jakarta.
Persoalan meninggalnya Ayu Tria Desiani lantas menarik perhatian media. Pasalnya, meskipun mendapat perawatan medis, pihak keluarga merasa bahwa pelayanan yang diberikan pihak RSAB Harapan Kita tidak sesuai apa yang diharapkan karena ketika pasien masuk ke ruang ICU, ruangan tersebut malah dipakai untuk syuting sinetron ‘Love In Paris’. Sang Ayah, Kurnianto, mengatakan kepada media bahkan proses pemindahan pasien dari ruang IGD ke ruang ICU terhambat beberapa saat karena terganggu peralatan syuting[1]. Qadarullah, akhirnya Ayu Tria Desiani meninggal pukul 02.30 setelah dirawat selama kurang lebih 9 jam di RSAB Harapan Kita.
Sontak, seluruh media baik cetak maupun elektronik keesokan harinya memblow-up permasalahan ini. Mayoritas masyarakat mengecam pihak rumah sakit yang meninggalkan kesan seolah tidak memiliki profesionalisme dalam melayani pasien. Pihak keluarga beberapa kali mendatangi pihak rumah sakit untuk meminta penjelasan dari pihak direktur atau pihak humas yang berkaitan, namun malah dilempar kesana kemari seolah ingin lepas dari tanggung jawab[2].
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr. Zainal Abidin mengatakan, kasus yang berkaitan dengan gangguan kenyamanan pasien di’ Rumah Sakit Harapan Kita’ terkait erat dengan kode etik. "Kalau kami baca Kode Etik dan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, misi utama lembaga itu adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada orang yang sakit atau pasien. Ada fungsi sosial di dalamnya," kata Zainal. Berdasarkan kode etik dan undang-undang itu, Zainal mengatakan semua sarana dan prasarana rumah sakit harus difungsikan untuk mendukung kegiatan utamanya, yakni pelayanan kesehatan[3].
Bertolak belakang dengan IDI, pihak Kementerian Kesehatan yang melakukan investigasi mengklaim bahwa apa yang dilakukan oleh pihak rumah sakit yang bersangkutan sudah sesuai dengan prosedur standar (SOP) yang berlaku bagi penanganan pasien. Belakangan, akhirnya pihak RSAB Harapan Kita meminta maaf kepada keluarga pasien. Direktur Utama Rumah Sakit Anak Bunda (RSAB) Harapan Kita, Achmad Soebagjo, melayangkan permohonan maaf kepada keluarga pasien ICU anak dan masyarakat atas ketidaknyamanan yang disebabkan proses syuting sinetron di rumah sakit itu.
"Kami turut berduka dan mohon maaf atas ketidaknyamanan yang disebabkan oleh proses syuting sinetron di salah satu ruang ICU," ujar Achmad pada jumpa pers di Jakarta, Jumat (28/12). Namun Achmad berkilah, syuting sinetron ini adalah salah satu bentuk pengenalan beberapa produk dan program rumah sakit. Dia juga membantah syuting sebagai penyebab kematian pasien[4].
Sistem Kapital
Kisah ini sejatinya adalah cerita pilu kebobrokan sistem pelayanan sosial yang ada di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah, kantor-kantor pemerintah, terminal, stasiun maupun tempat sejenisnya selama ini hanya berorientasi mengejar keuntungan semata tanpa mengindahkan kepuasan penggunanya (customer satisfaction).
Hal ini bukan spontan terlahir begitu saja, Fenomena ini terbentuk oleh sebuah sistem yang mengatur pola pikir mereka sehingga menghasilkan output yang sedemikian rupa. Sistem yang dimaksud adalah “Kapitalisme”. Kapitalisme atau kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya [5].
Sistem kapitalisme inilah yang harus dituding sebagai akar permasalahannya. Sistem buatan manusia yang diyakini lahir di Eropa pada Abad ke 16 ini memaksa manusia untuk melakukan apapun demi meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Hasilnya kini bisa terlihat, tidak usah jauh-jauh mari kita lihat negeri sendiri, Negeri Indonesia yang subur kaya akan aneka ragam sumber daya alamnya. Atas nama kapitalisme, hutan di Kalimantan tergerus, tambang di Papua terkuras, lahan-lahan pertanian tergusur oleh keangkuhan pabrik dan kawasan industri. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Demikianlah, kebobrokan sistem buatan manusia yang tidak hanya merusak hardware tataran universal yang berupa hutan, gunung, laut, dan seluruh alam raya. Namun, ikut menghantam softwarenya yang berupa, ideologi, pola pikir, tabiat, dan sistem kehidupan.
Pelayanan Publik dalam Bingkai Syariat Islam
Lalu, bagaimana sistem ideal sesungguhnya yang mengatur berkaitan dengan pelayanan publik dalam Syari’at Islam? Kebijakan publik yang berorientasi syariah adalah kebijakan umum yang melahirkan kemaslahatan atau kesejahteraan rakyat dengan pilar utama terpenuhinya tujuan syariah (maqashid syari’ah). Untuk mencapai tujuan tersebut para ilmuwan dan cedikiawan Muslim klasik seperti Imam Al-Ghazali, Imam Asy-Syatibi, menekankan pada pentingnya terpenuhinya pilar maqashid shari’ah dalam seluruh kebijakan umum yang dilahirkan oleh para pemimpin (ulil amri) atau pemerintah Islam[6].
Kedua imam tersebut membagi maqashid syari’ah dalam tiga level, yaitu: Pertama, dharuriyah atau kebutuhan pokok manusia yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan kerusakan, kesengsaraan di dunia dan akhirat. Kebutuhan tersebut adalah terpeliharanya agama (hifzud-dien), jiwa (hifzun-nafs), akal (hifzul-‘aqal), keturunan (hifzun-nasb), dan harta (hifzul-maal);
Kedua, hajjiah atau kebutuhan sekunder untuk menopang kebutuhan dharuriyah seperti perlunya badan yang mengawasi kebijakan agar dapat berjalan sesuai tujuan dan untuk mempermudah tercapainya kemaslahatan hidup, dan menanggulangi kesulitan atau penyelewengan, dan; Ketiga, tahsiniyyah, yaitu pemenuhan kebutuhan yang dapat memperindah, suasana yang nyaman di mana syariah menjamin bagi pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.
Dalam hal kebijakan publik dapat disebutkan pemberian fasilitas bagi pejabat pelaksana kebijakan. Level kedua dan ketiga hanya untuk memperkuat terpenuhinya capaian level pertama yang bersifat pokok dan boleh tidak dipenuhi jika dianggap mengurangi pemenuhan kebutuhan pertama. Kebijakan publik yang beorientasi syariah, tujuan utamanya untuk terjaminnya pemeliharaan ketiga level mashalahah tersebut. Dengan fokus utamanya pada lima kebutuhan pokok manusia yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Rumah Sakit Pada Masa Kejayaan Islam
Teori yang disebut barusan, bukan hanya retorika belaka, yang tidak bisa diaplikasikan. Sejarah telah mencatat dengan tinta emasnya, bagaimana Dunia Islam memiliki prestasi yang gemilang dalam bidang pelayanan publik khususnya Rumah Sakit.
RS Islam pertama yang dibangun ada pada era kekuasaan Khalifah Harun Al-Rasyid (786 M – 809 M),. Setelah berdirinya RS Baghdad, di metropolis intelektual itu mulai bermunculan RS lainnya. Konsep pembangunan beberapa RS di Baghdad itu merupakan ide dari Al-Razi, dokter Muslim terkemuka[7].
Dalam catatan perjalanannya, seorang sejarawan bernama Djubair sempat mengunjungi Baghdad pada 1184 M. Ia melukiskan, RS yang ada di Baghdad seperti sebuah `istana yang megah’. Airnya dipasok dari Tigris dan semua perlengkapannya mirip istana raja. Menurut Dr Hossam Arafa dalam tulisannya berjudul Hospital in Islamic History pada akhir abad ke-13, RS sudah tersebar di seantero Jazirah Arabia.
Pada era keemasan, RS Islam yang tersebar di kawasan Arab itu memiliki karakteristik yang khas. Pertama, RS Islam melayani semua orang tanpa membedakan warna kulit, agama, serta latar belakang asal usul lainnya. RS Islam dikelola pemerintah. Direkturnya biasanya seorang dokter. Di RS itu semua dokter dengan keyakinan agama yang berbeda bahu-membahu bekerja sama untuk menyembuhkan pasiennya.
Kedua, sudah menerapkan pemisahan bangsal. Pasien pria dan wanita menempati bangsal yang terpisah. Penderita penyakit menular juga dirawat di tempat yang berbeda dengan pasien lainnya. Ketiga, pembagian perawat. Perawat pria bertugas merawat pria dan perawat wanita merawat pasien wanita.
Keempat, memperhatikan kamar mandi dan pasokan air. Shalat lima waktu merupakan rukun Islam yang wajid bagi setiap Muslim. Baik dalam kondisi sehat maupun sakit, shalat tetap merupakan sebuah kewajiban. Meski begitu, orang yang sakit mendapat keringan untuk melaksanakan shalat berdasarkan kemampuan fisiknya.
Bagi mereka yang tak mampu, bisa shalat sembari tidur di atas kasur. Sebelum menunaikan ibadah shalat, setiap Muslim harus berwudhu membersihkan muka, tangan, kepala dan kaki. Untuk memenuhi kebutuhan itu, RS menyediakan air yang melimpah dengan dilengkapi fasilitas kamar mandi.
Kelima, tak sembarang dokter bisa berpraktik di RS. Hanya dokter-dokter yang berkualitas yang diizinkan untuk mengobati pasien di RS. Khalifah Al-Mugtadir dari Dinasti Abbasiyah sangat memperhatikan betul kualitas dokter yang bertugas di RS. Untuk memastikan semua dokter berkualitas, khalifah memerintahkan kepala dokter istana, Sinan Ibn-Thabit untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad.
Dokter yang mendapat izin praktik di RS hanyalah mereka yang lolos seleksi yang ketat. Tak hanya di Baghdad, khalifah juga memerintahkan Abu Osman Sa’id Ibnu Yaqub untuk melakukan seleksi serupa di wilayah Damaskus, Makkah dan Madinah. Hal itu dilakukan, lantaran dua kota suci itu setiap tahunnya dikunjungi jamaah haji dari seluruh dunia.
Keenam, RS Islam pada zaman kekhalifahan tak hanya sekedar tempat untuk merawat dan mengobati orang sakit. RS juga berfungsi sebagai tempat menempa mahasiswa kedokteran, tempat pertukaran ilmu kedokteran, dan pusat pengembangan dunia kesahetan dan kedokteran secara keseluruhan. RS besar dan terkemuka dilengkapi dengan perpustakaan mewah yang memiliki koleksi buku-buku terbaru. Selain itu, RS Islam zaman kekhalifahan juga dilengkapi auditorium untuk pertemuan dan perkuliahan. Di kompleks RS juga berdiri mess atau perumahan untuk mahasiswa kedokteran serta staf RS.
Ketujuh, untuk pertama kalinya dalam sejarah, RS Islam menyimpan data pasien dan rekam medisnya. Konsep itu hingga kini digunakan RS yang ada di seluruh dunia. Kedelapan, selama era Islam ilmu farmasi dan prpfesi apoteker telah berkembang menjadi ilmu dan profesi terkemuka.
Apotek dan apoteker sudah berkembang pesat. Tak heran, jika obat-obatan baru tiap waktu terus bermunculan. Pada saat itu, umat Islam yang menguasai perdagangan telah menjalin kontak dengan bangsa-bangsa terkemuka di dunia. Ilmu kimia yang menopang farmasi juga berkembang pesat.
RS di era keemasan Islam bertugas untuk merawat seluruh pasien baik laki-laki maupun perempuan sampai benar-benar sembuh. Tak hanya itu, seluruh biaya ditanggung pihak RS. Mereka yang dilayani secara prima dan cuma-cuma itu bisa pendatang, orang asing, orang pribumi, kaya atau miskin, bekerja atau pengangguran, bodoh atau pintar, cacat atau normal diperlakukan secara sederajat dan adil.
Tak ada persyaratan tertentu dan pembayaran. Tak ada pasien yang ditolak untuk dirawat dan berobat. Semua pelayanan di RS itu dilakukan dengan mengharap keridhaan Sang Pencipta, Allah SWT. Disinilah kita bisa mendapat gambaran bahwa Islam lebih dulu unggul dan maju dibanding Barat.
Wallahu A’lam BisShawab
Sumber : Muslimdaily.net
OLEH: Fajar Shadiq
[1] http://news.detik.com/read/2012/12/27/182633/2128244/10/kronologi-meninggalnya-ayu-tria-di-rsab-harapan-kita
[2]http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/28/14273747/Orangtua.Ayu.Kejar.Dirut.RS.Harapan.Kita.ke.Kemenkes
[3] http://www.antaranews.com/berita/350716/kasus-rs-harapan-kita-terkait-kode-etik
[4] http://www.antaranews.com/berita/350594/rsab-harapan-kita-minta-maaf
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Kapitalisme
[6] http://aceh.tribunnews.com/2012/08/07/orientasi-kebijakan-publik-syariah
[7] http://www.suarakhilafah.com/kejayaan-khilafah-1-bimaristan-konsep-ideal-rumah-sakit-islam.html
Persoalan meninggalnya Ayu Tria Desiani lantas menarik perhatian media. Pasalnya, meskipun mendapat perawatan medis, pihak keluarga merasa bahwa pelayanan yang diberikan pihak RSAB Harapan Kita tidak sesuai apa yang diharapkan karena ketika pasien masuk ke ruang ICU, ruangan tersebut malah dipakai untuk syuting sinetron ‘Love In Paris’. Sang Ayah, Kurnianto, mengatakan kepada media bahkan proses pemindahan pasien dari ruang IGD ke ruang ICU terhambat beberapa saat karena terganggu peralatan syuting[1]. Qadarullah, akhirnya Ayu Tria Desiani meninggal pukul 02.30 setelah dirawat selama kurang lebih 9 jam di RSAB Harapan Kita.
Sontak, seluruh media baik cetak maupun elektronik keesokan harinya memblow-up permasalahan ini. Mayoritas masyarakat mengecam pihak rumah sakit yang meninggalkan kesan seolah tidak memiliki profesionalisme dalam melayani pasien. Pihak keluarga beberapa kali mendatangi pihak rumah sakit untuk meminta penjelasan dari pihak direktur atau pihak humas yang berkaitan, namun malah dilempar kesana kemari seolah ingin lepas dari tanggung jawab[2].
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr. Zainal Abidin mengatakan, kasus yang berkaitan dengan gangguan kenyamanan pasien di’ Rumah Sakit Harapan Kita’ terkait erat dengan kode etik. "Kalau kami baca Kode Etik dan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, misi utama lembaga itu adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada orang yang sakit atau pasien. Ada fungsi sosial di dalamnya," kata Zainal. Berdasarkan kode etik dan undang-undang itu, Zainal mengatakan semua sarana dan prasarana rumah sakit harus difungsikan untuk mendukung kegiatan utamanya, yakni pelayanan kesehatan[3].
Bertolak belakang dengan IDI, pihak Kementerian Kesehatan yang melakukan investigasi mengklaim bahwa apa yang dilakukan oleh pihak rumah sakit yang bersangkutan sudah sesuai dengan prosedur standar (SOP) yang berlaku bagi penanganan pasien. Belakangan, akhirnya pihak RSAB Harapan Kita meminta maaf kepada keluarga pasien. Direktur Utama Rumah Sakit Anak Bunda (RSAB) Harapan Kita, Achmad Soebagjo, melayangkan permohonan maaf kepada keluarga pasien ICU anak dan masyarakat atas ketidaknyamanan yang disebabkan proses syuting sinetron di rumah sakit itu.
"Kami turut berduka dan mohon maaf atas ketidaknyamanan yang disebabkan oleh proses syuting sinetron di salah satu ruang ICU," ujar Achmad pada jumpa pers di Jakarta, Jumat (28/12). Namun Achmad berkilah, syuting sinetron ini adalah salah satu bentuk pengenalan beberapa produk dan program rumah sakit. Dia juga membantah syuting sebagai penyebab kematian pasien[4].
Sistem Kapital
Kisah ini sejatinya adalah cerita pilu kebobrokan sistem pelayanan sosial yang ada di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah, kantor-kantor pemerintah, terminal, stasiun maupun tempat sejenisnya selama ini hanya berorientasi mengejar keuntungan semata tanpa mengindahkan kepuasan penggunanya (customer satisfaction).
Hal ini bukan spontan terlahir begitu saja, Fenomena ini terbentuk oleh sebuah sistem yang mengatur pola pikir mereka sehingga menghasilkan output yang sedemikian rupa. Sistem yang dimaksud adalah “Kapitalisme”. Kapitalisme atau kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya [5].
Sistem kapitalisme inilah yang harus dituding sebagai akar permasalahannya. Sistem buatan manusia yang diyakini lahir di Eropa pada Abad ke 16 ini memaksa manusia untuk melakukan apapun demi meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Hasilnya kini bisa terlihat, tidak usah jauh-jauh mari kita lihat negeri sendiri, Negeri Indonesia yang subur kaya akan aneka ragam sumber daya alamnya. Atas nama kapitalisme, hutan di Kalimantan tergerus, tambang di Papua terkuras, lahan-lahan pertanian tergusur oleh keangkuhan pabrik dan kawasan industri. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Demikianlah, kebobrokan sistem buatan manusia yang tidak hanya merusak hardware tataran universal yang berupa hutan, gunung, laut, dan seluruh alam raya. Namun, ikut menghantam softwarenya yang berupa, ideologi, pola pikir, tabiat, dan sistem kehidupan.
Pelayanan Publik dalam Bingkai Syariat Islam
Lalu, bagaimana sistem ideal sesungguhnya yang mengatur berkaitan dengan pelayanan publik dalam Syari’at Islam? Kebijakan publik yang berorientasi syariah adalah kebijakan umum yang melahirkan kemaslahatan atau kesejahteraan rakyat dengan pilar utama terpenuhinya tujuan syariah (maqashid syari’ah). Untuk mencapai tujuan tersebut para ilmuwan dan cedikiawan Muslim klasik seperti Imam Al-Ghazali, Imam Asy-Syatibi, menekankan pada pentingnya terpenuhinya pilar maqashid shari’ah dalam seluruh kebijakan umum yang dilahirkan oleh para pemimpin (ulil amri) atau pemerintah Islam[6].
Kedua imam tersebut membagi maqashid syari’ah dalam tiga level, yaitu: Pertama, dharuriyah atau kebutuhan pokok manusia yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan kerusakan, kesengsaraan di dunia dan akhirat. Kebutuhan tersebut adalah terpeliharanya agama (hifzud-dien), jiwa (hifzun-nafs), akal (hifzul-‘aqal), keturunan (hifzun-nasb), dan harta (hifzul-maal);
Kedua, hajjiah atau kebutuhan sekunder untuk menopang kebutuhan dharuriyah seperti perlunya badan yang mengawasi kebijakan agar dapat berjalan sesuai tujuan dan untuk mempermudah tercapainya kemaslahatan hidup, dan menanggulangi kesulitan atau penyelewengan, dan; Ketiga, tahsiniyyah, yaitu pemenuhan kebutuhan yang dapat memperindah, suasana yang nyaman di mana syariah menjamin bagi pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.
Dalam hal kebijakan publik dapat disebutkan pemberian fasilitas bagi pejabat pelaksana kebijakan. Level kedua dan ketiga hanya untuk memperkuat terpenuhinya capaian level pertama yang bersifat pokok dan boleh tidak dipenuhi jika dianggap mengurangi pemenuhan kebutuhan pertama. Kebijakan publik yang beorientasi syariah, tujuan utamanya untuk terjaminnya pemeliharaan ketiga level mashalahah tersebut. Dengan fokus utamanya pada lima kebutuhan pokok manusia yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Rumah Sakit Pada Masa Kejayaan Islam
Teori yang disebut barusan, bukan hanya retorika belaka, yang tidak bisa diaplikasikan. Sejarah telah mencatat dengan tinta emasnya, bagaimana Dunia Islam memiliki prestasi yang gemilang dalam bidang pelayanan publik khususnya Rumah Sakit.
RS Islam pertama yang dibangun ada pada era kekuasaan Khalifah Harun Al-Rasyid (786 M – 809 M),. Setelah berdirinya RS Baghdad, di metropolis intelektual itu mulai bermunculan RS lainnya. Konsep pembangunan beberapa RS di Baghdad itu merupakan ide dari Al-Razi, dokter Muslim terkemuka[7].
Dalam catatan perjalanannya, seorang sejarawan bernama Djubair sempat mengunjungi Baghdad pada 1184 M. Ia melukiskan, RS yang ada di Baghdad seperti sebuah `istana yang megah’. Airnya dipasok dari Tigris dan semua perlengkapannya mirip istana raja. Menurut Dr Hossam Arafa dalam tulisannya berjudul Hospital in Islamic History pada akhir abad ke-13, RS sudah tersebar di seantero Jazirah Arabia.
Pada era keemasan, RS Islam yang tersebar di kawasan Arab itu memiliki karakteristik yang khas. Pertama, RS Islam melayani semua orang tanpa membedakan warna kulit, agama, serta latar belakang asal usul lainnya. RS Islam dikelola pemerintah. Direkturnya biasanya seorang dokter. Di RS itu semua dokter dengan keyakinan agama yang berbeda bahu-membahu bekerja sama untuk menyembuhkan pasiennya.
Kedua, sudah menerapkan pemisahan bangsal. Pasien pria dan wanita menempati bangsal yang terpisah. Penderita penyakit menular juga dirawat di tempat yang berbeda dengan pasien lainnya. Ketiga, pembagian perawat. Perawat pria bertugas merawat pria dan perawat wanita merawat pasien wanita.
Keempat, memperhatikan kamar mandi dan pasokan air. Shalat lima waktu merupakan rukun Islam yang wajid bagi setiap Muslim. Baik dalam kondisi sehat maupun sakit, shalat tetap merupakan sebuah kewajiban. Meski begitu, orang yang sakit mendapat keringan untuk melaksanakan shalat berdasarkan kemampuan fisiknya.
Bagi mereka yang tak mampu, bisa shalat sembari tidur di atas kasur. Sebelum menunaikan ibadah shalat, setiap Muslim harus berwudhu membersihkan muka, tangan, kepala dan kaki. Untuk memenuhi kebutuhan itu, RS menyediakan air yang melimpah dengan dilengkapi fasilitas kamar mandi.
Kelima, tak sembarang dokter bisa berpraktik di RS. Hanya dokter-dokter yang berkualitas yang diizinkan untuk mengobati pasien di RS. Khalifah Al-Mugtadir dari Dinasti Abbasiyah sangat memperhatikan betul kualitas dokter yang bertugas di RS. Untuk memastikan semua dokter berkualitas, khalifah memerintahkan kepala dokter istana, Sinan Ibn-Thabit untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad.
Dokter yang mendapat izin praktik di RS hanyalah mereka yang lolos seleksi yang ketat. Tak hanya di Baghdad, khalifah juga memerintahkan Abu Osman Sa’id Ibnu Yaqub untuk melakukan seleksi serupa di wilayah Damaskus, Makkah dan Madinah. Hal itu dilakukan, lantaran dua kota suci itu setiap tahunnya dikunjungi jamaah haji dari seluruh dunia.
Keenam, RS Islam pada zaman kekhalifahan tak hanya sekedar tempat untuk merawat dan mengobati orang sakit. RS juga berfungsi sebagai tempat menempa mahasiswa kedokteran, tempat pertukaran ilmu kedokteran, dan pusat pengembangan dunia kesahetan dan kedokteran secara keseluruhan. RS besar dan terkemuka dilengkapi dengan perpustakaan mewah yang memiliki koleksi buku-buku terbaru. Selain itu, RS Islam zaman kekhalifahan juga dilengkapi auditorium untuk pertemuan dan perkuliahan. Di kompleks RS juga berdiri mess atau perumahan untuk mahasiswa kedokteran serta staf RS.
Ketujuh, untuk pertama kalinya dalam sejarah, RS Islam menyimpan data pasien dan rekam medisnya. Konsep itu hingga kini digunakan RS yang ada di seluruh dunia. Kedelapan, selama era Islam ilmu farmasi dan prpfesi apoteker telah berkembang menjadi ilmu dan profesi terkemuka.
Apotek dan apoteker sudah berkembang pesat. Tak heran, jika obat-obatan baru tiap waktu terus bermunculan. Pada saat itu, umat Islam yang menguasai perdagangan telah menjalin kontak dengan bangsa-bangsa terkemuka di dunia. Ilmu kimia yang menopang farmasi juga berkembang pesat.
RS di era keemasan Islam bertugas untuk merawat seluruh pasien baik laki-laki maupun perempuan sampai benar-benar sembuh. Tak hanya itu, seluruh biaya ditanggung pihak RS. Mereka yang dilayani secara prima dan cuma-cuma itu bisa pendatang, orang asing, orang pribumi, kaya atau miskin, bekerja atau pengangguran, bodoh atau pintar, cacat atau normal diperlakukan secara sederajat dan adil.
Tak ada persyaratan tertentu dan pembayaran. Tak ada pasien yang ditolak untuk dirawat dan berobat. Semua pelayanan di RS itu dilakukan dengan mengharap keridhaan Sang Pencipta, Allah SWT. Disinilah kita bisa mendapat gambaran bahwa Islam lebih dulu unggul dan maju dibanding Barat.
Wallahu A’lam BisShawab
Sumber : Muslimdaily.net
OLEH: Fajar Shadiq
[1] http://news.detik.com/read/2012/12/27/182633/2128244/10/kronologi-meninggalnya-ayu-tria-di-rsab-harapan-kita
[2]http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/28/14273747/Orangtua.Ayu.Kejar.Dirut.RS.Harapan.Kita.ke.Kemenkes
[3] http://www.antaranews.com/berita/350716/kasus-rs-harapan-kita-terkait-kode-etik
[4] http://www.antaranews.com/berita/350594/rsab-harapan-kita-minta-maaf
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Kapitalisme
[6] http://aceh.tribunnews.com/2012/08/07/orientasi-kebijakan-publik-syariah
[7] http://www.suarakhilafah.com/kejayaan-khilafah-1-bimaristan-konsep-ideal-rumah-sakit-islam.html