Aneh rasanya melihat seorang perempuan berhijab berjalan bebas di tengah Rio de Janeiro, kota yang terkenal dengan bikini dan karnavalnya yang liar itu.
Faktanya, Islam memang memiliki tempat, bahkan tumbuh di salah satu kota terpenting di Brazil ini.
“Islam bisa menemukan tempatnya di kota ini,” ujar Alessandra Faria, warga setempat yang setelah berislam beberapa tahun lalu dan mengubah nama menjadi Fatima.
Menurutnya, saat awal masuk Islam dia sempat merasa sedikit resah. “Saya keluar dengan ibu saya suatu hari dengan menggunakan jilbab dan sadar kalau saya adalah bagian dari minoritas,” ungkapnya.
Jilbab yang digunakan Fatima terlihat aneh di Rio. Tak lain karena kebanyakan perempuan di jalanan kota itu mengenakan busana minim. Tapi, seiring berjalannya waktu Fatima tak terlalu ambil pusing dengan hal itu.
“Rio adalah tempat berkumpulnya orang-orang dari latar belakang berbeda. Kota ini sudah terbiasa dengan perbedaan. Orang-orang dari berbagai bangsa, ras, etnis, dan agama datang ke Rio,” katanya.
Pencampuran ini membuat orang Rio sangat adaptif, toleran, dan menjadikan tempat ini kota yang hangat bagi Muslim. Orang lokal menunjukkan penghormatannya terhadap kaum minoritas.
Bahkan, tahun lalu, Pusat Kebudayaan Brazil menampilkan dua karya Muslim dalam pameran lukisan terkenal di Rio. Kini, setidaknya terdapat 500 keluarga Muslim di Rio.
Sebanyak 85 persen dari jumlah tersebut adalah penduduk lokal. Islam di Rio tidak hanya menjadi monopoli penduduk migran dari Libya, Palestina, atau Suriah.
Jumlah Muslim di Kota Rio de Janeiro semakin meningkat pascaperistiwa 11 September 2001 di New York, Amerika Serikat.
Peristiwa tersebut malah membuat semakin banyak warga lokal yang tertarik mengenal Islam lebih jauh.
Mereka ingin tahu, apakah Islam benar-benar memperbolehkan umatnya untuk melakukan kekerasan. Tapi, yang mereka temukan justru sebuah ajaran yang indah dan penuh kebenaran.
Selanjutnya, Islam dipandang sebagai sebuah bentuk resistansi terhadap dunia yang semakin kapitalis. Hal inilah yang akhirnya membuat mereka berpindah agama.
“Saya menemukan segala hal yang selama ini saya cari dalam Islam. Saya menemukan Tuhan yang tidak bisa digandakan. Tuhan hanya satu dan tidak ada keraguan atasnya,” ujar Omar Israfil Dawud bin Ibrahim, laki-laki yang empat tahun lalu masih dikenal sebagai pendeta Katolik sebelum Muslim.
Jumlah Muslim juga meningkat sejak sebuah telenovela berjudul “The Clone” diputar di Brazil, beberapa waktu lalu.
Telenovela ini berlatar belakang Maroko dengan tokoh utama seorang Muslim yang senang berbuat baik dan dianggap sebagai pahlawan. Di Brazil, telenovela ini sangat populer dan membantu non-Muslim untuk melihat sisi positif Islam.
Di Rio, Muslim kerap berkumpul untuk beribadah dan bersilaturahim di Mesquita Da Luz yang berarti masjid cahaya. Ini adalah masjid pertama di Rio, satu dari 127 masjid yang terdapat di Brazil.
Masjid ini berada di Tijuca, wilayah pinggiran Rio. Saat ini, masjid tersebut tengah direnovasi dengan biaya dari donasi yang dikumpulkan para jamaah selama empat tahun terakhir. Ke depan, masjid ini diharapkan dapat menampung sebanyak 400 orang jamaah.
Sumber : Republika
Faktanya, Islam memang memiliki tempat, bahkan tumbuh di salah satu kota terpenting di Brazil ini.
“Islam bisa menemukan tempatnya di kota ini,” ujar Alessandra Faria, warga setempat yang setelah berislam beberapa tahun lalu dan mengubah nama menjadi Fatima.
Menurutnya, saat awal masuk Islam dia sempat merasa sedikit resah. “Saya keluar dengan ibu saya suatu hari dengan menggunakan jilbab dan sadar kalau saya adalah bagian dari minoritas,” ungkapnya.
Jilbab yang digunakan Fatima terlihat aneh di Rio. Tak lain karena kebanyakan perempuan di jalanan kota itu mengenakan busana minim. Tapi, seiring berjalannya waktu Fatima tak terlalu ambil pusing dengan hal itu.
“Rio adalah tempat berkumpulnya orang-orang dari latar belakang berbeda. Kota ini sudah terbiasa dengan perbedaan. Orang-orang dari berbagai bangsa, ras, etnis, dan agama datang ke Rio,” katanya.
Pencampuran ini membuat orang Rio sangat adaptif, toleran, dan menjadikan tempat ini kota yang hangat bagi Muslim. Orang lokal menunjukkan penghormatannya terhadap kaum minoritas.
Bahkan, tahun lalu, Pusat Kebudayaan Brazil menampilkan dua karya Muslim dalam pameran lukisan terkenal di Rio. Kini, setidaknya terdapat 500 keluarga Muslim di Rio.
Sebanyak 85 persen dari jumlah tersebut adalah penduduk lokal. Islam di Rio tidak hanya menjadi monopoli penduduk migran dari Libya, Palestina, atau Suriah.
Jumlah Muslim di Kota Rio de Janeiro semakin meningkat pascaperistiwa 11 September 2001 di New York, Amerika Serikat.
Peristiwa tersebut malah membuat semakin banyak warga lokal yang tertarik mengenal Islam lebih jauh.
Mereka ingin tahu, apakah Islam benar-benar memperbolehkan umatnya untuk melakukan kekerasan. Tapi, yang mereka temukan justru sebuah ajaran yang indah dan penuh kebenaran.
Selanjutnya, Islam dipandang sebagai sebuah bentuk resistansi terhadap dunia yang semakin kapitalis. Hal inilah yang akhirnya membuat mereka berpindah agama.
“Saya menemukan segala hal yang selama ini saya cari dalam Islam. Saya menemukan Tuhan yang tidak bisa digandakan. Tuhan hanya satu dan tidak ada keraguan atasnya,” ujar Omar Israfil Dawud bin Ibrahim, laki-laki yang empat tahun lalu masih dikenal sebagai pendeta Katolik sebelum Muslim.
Jumlah Muslim juga meningkat sejak sebuah telenovela berjudul “The Clone” diputar di Brazil, beberapa waktu lalu.
Telenovela ini berlatar belakang Maroko dengan tokoh utama seorang Muslim yang senang berbuat baik dan dianggap sebagai pahlawan. Di Brazil, telenovela ini sangat populer dan membantu non-Muslim untuk melihat sisi positif Islam.
Di Rio, Muslim kerap berkumpul untuk beribadah dan bersilaturahim di Mesquita Da Luz yang berarti masjid cahaya. Ini adalah masjid pertama di Rio, satu dari 127 masjid yang terdapat di Brazil.
Masjid ini berada di Tijuca, wilayah pinggiran Rio. Saat ini, masjid tersebut tengah direnovasi dengan biaya dari donasi yang dikumpulkan para jamaah selama empat tahun terakhir. Ke depan, masjid ini diharapkan dapat menampung sebanyak 400 orang jamaah.
Sumber : Republika