Qada' (kada) menurut ulama mazhab Syafi'i ialah melaksanakan kewajiban setelah habis waktu yang telah ditentukan oleh syarak. Akan tetapi, ulama mazhab Hanafi menyebutkan bahwa qada' ialah melaksanakan suatu kewajiban serupa dengan yang diperintahkan oleh syarak.
Fukaha (ahli fikih) berbeda pendapat tentang kewajiban melakukan qada'. Pendapat pertama; ulama mazhab Hanafi, mazhab Hanbali, dan sebagian ulama hadits memandang wajib melakukan qada' atas dalil (alasan) perintah adaa'.
Menurut pendapat ini, dalil yang menjadi alasan wajibnya melaksanakan qada' ialah dalil yang menjadi alasan wajibnya adaa'. Pendapat ini beralasan pada ayat Alquran, "...Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain..." (QS. Al-Baqarah: 184).
Disamping itu, dalam hadits disebutkan, "Barangsiapa yang tertidur atau lupa dari (mengerjakan) shalat, hendaklah dikerjakannya ketika ingat, karena itulah waktu (bagi)-nya." (HR Bukhari).
Berlalunya waktu tidak berarti terhapusnya kewajiban. Kewajiban tetap berlangsung, hanya nilai dan namanya berbeda. Kalau dilaksanakan di dalam waktunya, nilainya lebih tinggi dan dinamai adaa'. Jika dilakukan di luar waktunya dinamai qada'; kewajibannya lunas, tetapi nilai belum tenu diperoleh.
Pendapat kedua dikemukakan oleh sebagian ulama mazhab Syafi'i, ulama mazhab Hanafi asal Irak, dan kaum Muktazilah yang menyatakan bahwa qada' itu dilaksanakan karena ada perintah yang baru, bukan karena perintah adaa'sebelumnya.
Menurut mereka, dengan berlalunya waktu, maka habis pula kewajiban yang ada dalam waktu tersebut, dan kewajiban yang telah habis itu harus dibayar dengan qada' atas dasar dalil yang lain, bukan dalil yang memerintahkan adaa'.
Hadits yang menjelaskan bahwa orang yang tertidur dan terlupa melakukan shalat wajib mengkada shalatnya yang telah luput—menurut pendapat kedua—merupakan perintah qada'. Kendati terkait dengan kewajiban pertama, hadits itu jelas merupakan perintah shalat yang pertama, karena ta'kid (penegasan) yang terdapat pada khabar (predikat) dalam kalimat hadits di atas menimbulkan suatu perintah baru.
Ulama mazhab Syafi'i membagi qada' menjadi empat macam. 1) Qada' atas perbuatan yang wajib ditunaikan, seperti mengkada shalat yang sengaja ditinggalkan. 2) Qada' atas perbuatan yang tidak wajib ditunaikan dalam waktu tertentu, seperti qada' puasa bagi musafir dan orang sakit.
3) Qada' atas perbuatan yang terhalang pelaksanaannya pada waktu tertentu karena ketiadaan ingatan terhadapnya, seperti shalat orang yang tertidur. Yang bersangkutan wajib meng-qada'-nya setelah ingat. 4) Qada' atas perbuatan yang terhalang menunaikannya karena halangan syarak, seperti puasa orang yang sedang haid. Ia wajib menunaikannya setelah berlalunya halangan tersebut.
Ulama mazhab Hanafi membagi qada' atas dua macam. 1) Qada' mahd (qada yang murni). 2) Qada' syabih bi al-adaa' (qada' yang serupa dengan adaa'), seperti orang yang melakukan shalat Idul Fitri pada tanggal 2 Syawwal, karena ia baru mengetahui masuknya shalat Idul Fitri pada waktu sore tanggal 1 Syawwal tersebut.
Qada' murni dibagi dua. 1) Qada' terhadap suatu perintah agama yang sesuai dengan pandangan akal. 2) Qada' terhadap suatu perintah agama yang terpikirkan oleh akal, seperti mengkada puasa dengan membayar fidyah.
Ulama mazhab Hanafi membagi qada' atas dua macam. 1) Qada' mahd (qada yang murni). 2) Qada' syabih bi al-adaa' (qada' yang serupa dengan adaa'), seperti orang yang melakukan shalat Idul Fitri pada tanggal 2 Syawwal, karena ia baru mengetahui masuknya shalat Idul Fitri pada waktu sore tanggal 1 Syawwal tersebut.
Qada' murni dibagi dua. 1) Qada' terhadap suatu perintah agama yang sesuai dengan pandangan akal. 2) Qada' terhadap suatu perintah agama yang terpikirkan oleh akal, seperti mengkada puasa dengan membayar fidyah.
Sumber: Ensiklopedi Hukum Islam